Oleh: Prof Dr Nasaruddin Umar
Namun, opsi pandangan ini bisa disanggah. Kata al-rijal di dalam Alquran tidak selamanya berarti laki-laki secara biologis.
Kata al-rijal bisa juga berarti gender maskulin (QS Al-Baqarah [2]: 282), orang tanpa membedakan laki-laki atau perempuan (QS Al-A’raf [7]: 46), nabi atau rasul (QS Al-Anbiya’ [21]: 7), tokoh yang memiliki sejumlah kapasitas (QS Yaasin [36]: 20), dan budak (QS Az-Zumar [39]: 29).
Opsi kedua menganggap adanya kemungkinan nabi perempuan. Pendapat inilah yang didukung Ibnu Hazm, dengan penjelasan bahwa nubuwwah berasal dari kata inba’, berarti ‘berita atau informasi’.
Nabi adalah orang yang memperoleh informasi dari Tuhan. Informasi ini dibedakan ke dalam beberapa tingkatan, antara lain informasi berupa wahyu kepada para nabi, ilham kepada para wali, taklim kepada para awam, dan thabi’ah berupa informasi kepada segenap makhluk, termasuk binatang, sebagaimana halnya lebah (QS aA-Nahl [16]: 68).
Ibnu Hazm membedakan antara kenabian (nubuwwah/prophecy), keraguan (dzann), ilusi (tawaahum/illution), (kahana/divination), dan astrologi.
Wahyu yang turun kepada seseorang biasanya mempunyai cara atau proses. Pertama, wahyu melalui perantara malaikat Jibril dan yang kedua wahyu yang turun langsung kepada seseorang tanpa wasilah.
Wahyu yang turun kepada perempuan menurut Ibnu Hazm, antara lain Maryam diberi tahu akan lahirnya seorang bernama Isa dari rahimnya (QS Maryam [19]: 17- 19, Al-Maaidah [5]: 75, dan Yusuf [12]: 46).
Selain Maryam, putra Imran juga dikemukakan ibunda Isa, serta Asiah, putri Muzahim yang juga menjadi istri Firaun diindikasikan pula sebagai nabi, mengingat intensifnya pemberitaan Alquran tentang figur ideal perempuan tersebut.
Istri Nabi Ibrahim diberi tahu melalui Jibril bahwa dirinya akan memperoleh anak (QS Hud [11]: 71-73). Ibu Nabi Musa yang diperintahkan oleh Allah agar meletakkan anaknya di sungai dan diberi tahu bahwa anaknya nantinya akan menjadi nabi (QS Al-Qashash [28]: 7 dan QS Thaha [20]: 38).