REPUBLIKA.CO.ID, Oleh: Erman Suparno
Setiap Ramadhan, para ulama, kiai, ustaz, mubaligh, baik melalui panggung, majelis taklim, televisi, radio, maupun media lainnya, tak henti-hentinya menyampaikan kepada jamaah dan umat akan firman Allah tentang kewajiban berpuasa yang terdapat dalam surah al-Baqarah [2] ayat 183.
Ayat tersebut sangat penting karena menjadi landasan teologis bagi umat dalam menjalankan ibadah puasa Ramadhan. Selain merupakan salah satu rukun Islam, puasa Ramadhan juga mengandung misi ketuhanan yang sangat memengaruhi kualitas ibadah (ritual) dan juga misi sosial yang didesain Allah.
Sebagai sebuah bentuk ibadah, sudah pasti pelaksanaan puasa Ramadhan memiliki kualifikasi fikhiyah ter tentu. Meski sifat pelaksanaannya adalah wajib, dengan segala kasih sayang-Nya, Allah tidak lupa menyiapkan beberapa kemudahan untuk orang-orang tertentu dalam melaksanakan ibadah puasa. Hal yang sama kita temukan pada hampir semua kewajiban keagamaan, termasuk dalam ibadah shalat, haji, zakat, serta ibadah lainnya. Semua ibadah dalam Islam memiliki pesan moral dan sosial yang kental.
Dalam surah al-Baqarah [2]: 183 dijelaskan, puasa Ramadhan harus mewujudkan orang-orang yang bertakwa. Dalam konteks sosial, orang-orang bertakwa adalah mereka yang mampu berlaku adil dan terus menjaga dirinya selalu berada pada derajat tersebut. Sebab, keadilan merupakan konsekuensi logis dari ketakwaan seseorang. Tidak dikatakan bertakwa seseorang itu apabila ia belum bisa berlaku adil terhadap semua. Islam mengamanatkan pentingnya menegakkan keadilan.
Sebagai pranata Tuhan di dunia, agama hadir untuk membebaskan manusia dari kondisi-kondisi sosial yang tidak berkeadilan. Islam menolak seluruh bentuk tirani, hegemoni, dominasi, atau eksploitasi dalam segala sisi kehidupan. “Berlaku adillah karena itu lebih dekat kepada takwa.” (QS al- Maidah [5]: 8). Jadi, mereka yang berpuasa Ramadhan, harus berlaku adil agar mencapai derajat takwa.
Ketika menyaksikan seorang perempuan menghardik pembantunya pada siang Ramadhan, Rasulullah SAW memanggil perempuan itu dan menyuruhnya makan. Ia menolak karena tengah berpuasa. Tetapi Rasulullah dengan tegas mengatakan, bagaimana mungkin ia berpuasa sementara ia tak berlaku adil, menghardik dengan kata-kata kasar.
Menghardik hanya mungkin dilakukan oleh yang kuat terhadap yang lemah. Puasa, menurut Rasulullah, disebut rusak karena mengabaikan pesan keadilan. Dan, disebut tidak berpuasa seseorang jika tidak bisa berlaku adil. Adil adalah tangga terdekat menuju takwa.
Sangat mungkin seseorang mampu memenuhi semua kualifikasi syariat dalam melaksanakan sebuah ibadah, tetapi pahalanya mungkin tertahan karena pesan sosialnya tidak tertunaikan dengan benar. Alquran mengajak umat Islam menjadi pembela bagi kelompok tertindas serta golongan yang lemah dan dilemahkan.