Senin 06 Aug 2012 08:46 WIB

KH Abdullah bin Nuh, Ulama Pejuang dari Cianjur (4)

Rep: Nidia Zuraya/ Red: Chairul Akhmad
KH Abdullah bin Nuh (kiri).
Foto: blogspot.com
KH Abdullah bin Nuh (kiri).

REPUBLIKA.CO.ID, Ketika ibu kota negara pindah ke Yogyakarta pada 4 Juni 1946, ia pun turut serta hijrah ke Yogyakarta, sekaligus menghindari upaya penangkapan oleh Belanda.

Di ibukota negara yang baru ini, kiprah KH Abdullah pun terekam tidak hanya di bidang pemerintahan, tetapi juga di bidang lainnya. Ia merupakan penggagas Siaran Bahasa Arab pada RRI Yogyakarta.

Dalam masa revolusi fisik ini, ia juga tercatat menjadi salah seorang pendiri Sekolah Tinggi Islam, yang kini dikenal dengan Universitas Islam Indonesia (UII). Dalam masa perjuangan mempertahankan kemerdekaan ini, ia menikah kembali.

Perempuan yang dinikahinya adalah Mursyidah binti Abdullah Suyuti, yang merupakan salah seorang murid KH Abdullah di STI. Dari pernikahannya dengan Mursyidah, ia dikaruniai enam orang anak. Sementara dari pernikahannya dengan istri pertamanya, Nyi Raden Mariyah, ia mendapatkan lima orang anak.

Masa perjuangan kemerdekaan dilalui KH Abdullah hingga 1950 di Kota Yogyakarta. Kemudian, ia dan keluarganya memutuskan untuk hijrah ke Jakarta, dan menjalani kehidupan di ibukota ini hingga tahun 1970.

Setelah itu, ia kemudian pindah dan menetap di Bogor hingga akhir hayatnya. Ulama pejuang asal Cianjur ini wafat pada 26 Oktober 1987, setelah kurang lebih 17 tahun bermukim di Bogor dan mengabdikan ilmu agamanya bagi masyarakat sekitar.

Saat tinggal di Bogor, ia mendirikan sebuah majelis taklim bernama Al-Ghazali. Majelis yang berkembang menjadi sebuah yayasan pendidikan ini hingga kini masih berdiri dengan dipimpin oleh putra bungsunya, KH Mustofa.

Yayasan Al-Ghazali tidak hanya menyelenggarakan kegiatan pengajian rutin, tetapi juga membuka madrasah dan sekolah Islam dari tingkat Taman Kanak-kanak (TK) hingga menengah atas.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement