Oleh: Komaruddin Hidayat *
Dalam sebuah Hadis Qudsi disebutkan bahwa meskipun secara fisik hati itu kecil dan mengambil tempat pada jasad manusia, namun luasnya hati Insan Kamil (qalb al-'arif) melebihi luasnya langit dan bumi karena ia sanggup menerima Arsy Tuhan, sementara bumi langit tidak sanggup.
Menurut Ibnu Arabi, kata qalb senantiasa berasosiasi dengan kata taqallub yang bergerak atau berubah secara konstan. Taqallub-nya hati sang sufi, kata Arabi, adalah seiring dengan tajalli-nya Tuhan.
Tajalli berarti penampakan diri Tuhan ke dalam makhluk-Nya dalam pengertian metafisik. Dan dari sekian makhluk Tuhan, hanya hati seorang Insan Kamil-lah yang paling mampu menangkap lalu memancarkan tajalli-Nya dalam perilaku kemanusiaan (Fushushul Hikam, XII; Hossein Nasr, 1977, p.138).
Dalam konteks inilah, menurut Ibnu Arabi, yang dimaksudkan dengan ungkapan siapa yang mengetahui jiwanya, ia akan mengetahui Tuhannya karena manusia adalah "microcosmos" atau jagad cilik di mana Arsy Tuhan berada di situ, tetapi Tuhan bukan pengertian huwiyah-Nya atau "ke-Dia-annya" yang Mahaabsolut dan Mahaesa, melainkan Tuhan dalam sifat-Nya yang Dzahir, bukannya yang Bathin.
Khalifah Allah: Manusia Suci Nan Perkasa
Bila upaya penyucian jiwa merupakan inti tasawuf, dan itu dilakukan dalam upaya mendekati dan menggapai kasih Tuhan, maka tasawuf bisa dikatakan sebagai inti keberagaman dan karenanya setiap Muslim semestinya berusaha untuk menjadi sufi.
Pandangan semacam itu tentu saja kurang populer dan sulit diterima oleh kalangan terdekat. Namun begitu, bukankah cukup tegas isyarat Alquran maupun hadis yang menyatakan bahwa kewajiban setiap Muslim adalah menyucikan jiwanya sehingga kesuciannya termanifestasikan dalam perilaku insaniyahnya?
Melalui tahapan ta'alluq, takhalluq, dan tahaqquq, maka seorang mukmin akan mencapai derajat khalifah Allah dengan kapasitasnya yang perkasa tetapi sekaligus penuh kasih dan damai. Seorang 'abdullah” (budak Allah) yang saleh adalah sekaligus juga wakil-Nya untuk membangun bayang-bayang surga di muka bumi ini.
Bukankah Allah punya blue-print dan proyek untuk memakmurkan bumi, dan bukankah hamba-hamba-Nya yang saleh telah dinyatakan sebagai mandataris-Nya?
Jadi, secara karikatural, seorang sufi kontemporer adalah mereka yang tidak asing berdzikir dan berpikir tentang Tuhan sekalipun di hotel mewah dan datang dengan kendaraan yang mewah pula.
* Rektor Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta