Kamis 26 Jul 2012 13:42 WIB

Manusia dan Proses Penyempurnaan Diri (3)

Ilustrasi
Foto: indonesiaoptimis.com
Ilustrasi

Oleh: Komaruddin Hidayat *

Dari jenjang pertama sampai ketiga, aktivitas dan daya jangkau manusia masih berada dalam lingkup dunia materi dan dunia materi selalu menghadirkan polaritas atau fragmentasi yang saling berlawanan (the primordial pair).

Dalam konteks inilah yang dimaksud bahwa realitas yang kita tangkap tentang dunia materi adalah realitas yang terpecah berkeping-keping.

Makin berkembang ilmu pengetahuan, makin bertambah kepingan gambaran realitas dunia, dan makin jauh pula manusia untuk mampu mengenal dirinya secara utuh.

Dalam kaitan definisi, tradisi tasawuf belum mempunyai definisi tunggal, namun para sarjana Muslim sepakat bahwa inti tasawuf adalah ajaran yang menyatakan bahwa hakikat keluhuran nilai seseorang bukanlah terletak pada wujud fisiknya melainkan pada kesucian dan kemuliaan hatinya, sehingga ia bisa sedekat mungkin dengan Tuhan yang Mahasuci. 

Ajaran spiritualitas seperti ini tidak hanya terdapat pada Islam melainkan pada agama lain, bahkan dalam tradisi pemikiran filsafat akan mudah pula dijumpai. Dari kenyataan ini, maka tidak terlalu salah bila ada yang berpendapat bahwa sesungguhnya potensi dan kecenderungan kehidupan batin manusia ke arah kehidupan mistik bersifat natural dan universal.

Pendeknya, pada nurani manusia yang terdapat dalam cahaya suci yang senantiasa ingin menatap Yang Mahacahaya (Tuhan) karena dalam kontak dan kedekatan antara nurani dan Tuhan itulah muncul kedamaian dan kebahagiaan yang paling prima. 

Kalangan sufi yakin, dahaga dan kerinduan mendekati Tuhan ini bukanlah hasil rekayasa pendidikan (kultur) melainkan merupakan natur manusia yang paling  dalam, yang pertumbuhannya sering terhalangi oleh pertumbuhan dan naluri jiwa nabati dan hewani yang melekat pada manusia.

Dengan kiasan lain, roh Ilahi yang bersifat imateri dan berperan sebagai "sopir" bagi kendaraan "jasad" kita ini seringkali lupa diri sehingga iakehilangan otonominya sebagai master. 

Bila hal ini terjadi maka terjadilah kerancuan standar nilai. "Keakuan" orang bukan lagi difokuskan pada kesucian jiwa tetapi pada prestasi akumulasi dan konsumsi materi. Artinya, jiwa yang tadinya duduk dan memerintah dari atas singgasana "imateri" dengan sifat-sifatnya yang mulia seperti: cinta kasih, penuh damai, senang kesucian, selalu ingin dekat kepada Yang Mahasuci dan Abstrak, lalu turunlah tahtanya ke level yang lebih rendah, yaitu dataran: minerality, vegetality, dan animality.

* Rektor Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta

 

sumber : Pustaka Media
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement