REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Perjalanan Islamisasi di Nusantara penuh sentuhan sejarah dan mistik. Tonggak terpenting penyebaran Islam di Jawa dan Nusantara ditandai sejak abad ke-7 Masehi dan makin berkembang pesat sejak abad ke-14 Masehi dengan keberadaan Wali Songo. Sayangnya, ada sebentuk penghilangan sejarah akibat pengaruh sastra Eropa.
"Adalah tindakan ahistoris kalau tidak boleh dikatakan naif ketika kaum intelektual membincang Islam Indonesia tanpa menyertakan Wali Songo di dalamnya dengan pertimbangan beda paham dan aliran,"ungkap penulis buku Atlas Wali Songo, Agus Sunyoto saat launching bukunya di kantor Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU), Kamis (5/7).
Diakuinya, buku yang terbit medio Juni silam ini lahir dari sebuah keterpaksaan. Manakala dia menyimak buku Ensiklopedia Islam terbitan Ikhtiar Baru Van Hoeve yang tidak menyebut satu kalimat pun tentang Wali Songo. Berikut khazanah kekayaan budaya Islam di Jawa saat pertengahan abad ke-15 silam.
Argumen yang jauh dari nilai ilmiah dituturkan pula oleh penulis Sjamsudduha dalam bukunya Walisanga Tak Pernah Ada?. Agus menilai, dua penilaian tadi sebagai usaha sistematis dari golongan minoritas untuk mengurangi peran penganut paham ahlussunah waljamaah. Padahal secara sosiokutural-religi, penganutnya bervariasi mulai dari santri, priyayi, dan abangan yang diwakili golongan nahdliyin.
Agus pun menyimpulkan, ada pula peran orang Eropa dalam literatur yang hanya memaknai sesuatu sebagai obyek tunggal. Otoritas pengetahuan Eropa itu menganggap sejarah dari sekelompok wali Allah tidaklah ada. "Kita tak bisa seterusnya mengikuti pandangan Eropa seluruhnya, karena mereka terbatas memaknai kajian sejarah Nusantara yang beragam," papar Agus.
Sadar pentingnya makna keberadaan Wali Songo dalam dakwah Islam, Agus memulai penelitiannya dengan memadukan aspek sejarah dan arkeologi dari peninggalan jejak di situs-situs Jawa yang tersebar di pantai utara. Data material berupa prasasti yang ditulis saat para Wali Songo kesana atau beberapa saat setelah mereka meninggal disambangi oleh Agus.
Dia pun menemukan bukti otentik jika ajaran Wali Songo tak menghilangkan nilai-nilai sosial dan aturan dalam perilaku kehidupan rakyat lokal. Ini terlihat dari pemakaian istilah lokal yang persuasif seperti sembahyang (sembah Hyang), puasa (apuwasa), maupun pesantren. "Munafik kalau peran Wali Songo disingkirkan dalam sejarah Islamisasi Nusantara dalam waktu dakwahnya yang lebih dari setengah abad karena banyak bukti histografisnya," tegas Agus.