REPUBLIKA.CO.ID, Di Madinah, selagi Umar bin Khathab bercakap-cakap dengan sekelompok kaum Muslimin tentang Perang Badar dan mereka menyebut-nyebut pertolongan Allah kepada mereka, tiba-tiba terdengar suara datangnya seseorang.
Ketika Umar menoleh, tampaklah olehnya Umair bin Wahab yang sedang bergerak menuju ke arah masjid. Umar berkata kepada para sahabat, “Itu dia si Umair bin Wahab, musuh Allah! Demi Allah, pasti kedatangannya untuk maksud jahat. Dialah yang menghasut orang banyak dan mengerahkan mereka untuk memerangi kita di Perang Badar!” kata Umar berang.
Pandangan Umar terus tertuju pada setiap langkah unta yang ditunggangi Umair. Umair terus bergerak ke arah masjid, tempat sekelompok Kaum Muslimin berkumpul. Pandangannya di arahkan ke kiri dan ke kanan, mencari tahu di mana tempat Muhammad.
Pedang beracun andalannya dihunuskan, dengan mata dan muka merah seolah-olah sedang mabuk. Ia duduk tegak di atas untanya. Kemudian setelah ia sampai di masjid, turunlah ia dan mengikat untanya.
Saat itu, Rasulullah ada di dalam rumah. Dengan cepat Umar RA berlari menuju ke sana dan masuk ke dalam rumah, sambil berkata dengan suara yang sangat nyaring, “Ya Rasulullah, itulah seteru Allah si Umair bin Wahab telah datang dengan menyelempangkan pedangnya.”
Lalu Umar membawa masuk Umair menghadap Nabi. Bagai harimau yang kehilangan gigi, Umair sama sekali tidak berkutik ketika tali pedang beracunnya dipegang oleh Umar RA . Ada ketakutan yang tidak bisa disembunyikan ketika Umair berhadapan dengan Umar.
Ia hanya diam tanpa mengeluarkan sepatah kata pun. Memang, selamanya pahlawan-pahlawan bangsa Quraisy takut kepada Umar. Sesampai di hadapan Nabi, lalu beliau bersabda, “Lepaskanlah dia, wahai Umar!” Umar segera mematuhi perintah Rasulullah SAW.
“Selamat pagi untukmu, hai Muhammad!” kata Umair. Ucapan penghormatan seperti itu adalah seperti yang lazimnya dilakukan masyarakat jahiliyah.
Lalu Rasulullah bersabda, "Sesungguhnya Allah telah memuliakan kami dengan suatu ucapan kehormatan yang lebih baik dari ucapanmu itu, hai Umair. Penghormatan itu ialah Salam.”
Selanjutnya Nabi bertanya kepada Umair, “Hai Umair sesungguhnya kamu ini datang kemari untuk apa?”
Ia menjawab, “Ya Muhammad, aku datang kemari ini hendak bertemu dengan anakku yang sekarang ada di tanganmu.”
Nabi SAW berkata, “Tidak! Sebenarnya saja. Kamu jangan berdusta.”
“Betul, ya Muhammad,” jawab Umair. “Sesungguhnya aku hendak bertemu dengan anakku, dan aku hendak meminta kepadamu supaya engkau berbuat baik kepadanya.”
Nabi berkata lagi, “Apa gunanya pedang yang kamu bawa itu?”
“Pedang ini tidak ada gunanya sedikit jua pun bagiku. Mudah-mudahan Allah menjelekkan pedang ini,” jawab Umair.
“Tidak begitu, ya Umair! Adakah kamu membenarkan, jika aku mengatakan (menerangkan) segala apa maksudmu datang kemari.”
“Aku tidak datang kemari melainkan untuk itu, Muhammad.”
Nabi dengan tersenyum lalu berkata, “Ah, tidak begitu! Mesti ada maksud lain yang kamu simpan. Cobalah dengarkan, beberapa saat yang lalu, kamu duduk bersama-sama dengan Shafwan bin Umayyah di Hijr, lalu kamu dan Shafwan menyebut kaum Quraisy yang tertanam semuanya di sumur Badar. Selanjutnya, kamu berkata begini dan begitu, dan Shafwan juga berkata begini dan begitu. Lantas kamu menyahut begini. Bukankah begitu?”