Kamis 21 Jun 2012 10:01 WIB

Fikih Muslimah: Shopaholic, Boleh Nggak?

Rep: Nashih Nashrullah/ Red: Chairul Akhmad
Shopping (ilustrasi).
Foto: Antara/Zabur Karuru
Shopping (ilustrasi).

REPUBLIKA.CO.ID, Berbelanja (shopping) adalah aktivitas yang ditunggu-tunggu oleh kebanyakan orang, terutama kaum Hawa. Kala berbelanja, tak sedikit rupiah yang digelontorkan untuk membeli barang yang diinginkan.

Tak jarang, hingga menghabiskan dana dan menimbulkan kesan berlebih-lebihan. Akibat ‘virus’ berbelanja yang kelewat batas, tak sedikit dari mereka yang terpaksa terlilit utang kartu kredit.

Bagaimana Islam memandang hukum berbelanja dengan gambaran kasus di atas, alias berlebih-lebihan dalam berbelanja? Bolehkah Muslimah membelanjakan hartanya sedemikian rupa?

Syekh Yusuf Al-Qardhawi, dalam laman resminya menyebutkan sikap ‘rakus’ berbelanja menghabiskan uang, sangat dikecam dalam Islam. Hukumnya pun haram dilakukan. Meskipun uang tersebut adalah hasil jerih payahnya sendiri. “Konsep kepemilikan harta yang berlaku dalam Islam, pada dasarnya uang yang dimiliki bukanlah kepunyaan pribadi secara mutlak,” kata Qardhawi.

Harta itu hanya dititipkan kepada yang bersangkutan. Ada hak orang lain di sebagian harta itu. Karena itu, ada hukum pemblokiran dana bagi mereka yang belum dapat mengelola keuangan. “Dan janganlah kamu serahkan kepada orang-orang yang belum sempurna akalnya, harta (mereka yang ada dalam kekuasaanmu) yang dijadikan Allah sebagai pokok kehidupan.” (QS. An-Nisaa’: 5).

Qardhawi yang menjabat Ketua Perhimpunan Ulama se-Dunia itu mengatakan bukan berarti Islam melarang berbelanja. Tetapi, yang ditekankan ialah pentingnya prinsip keseimbangan. Artinya, berbelanja boleh-boleh saja, tetapi tetap tidak menghambur- hamburkan uang. Di sisi lain, keseimbangan itu juga melarang sikap terlalu irit hingga menyulitkan diri sendiri.

Apakah takaran belanja yang berlebihan? Menurut Qradhawi yang memperoleh gelar doktor di Universitas Al-Azhar, Kairo, Mesir, itu ukurannya ialah pengalokasian dana untuk membeli barang yang terlampau mewah dan kurang dari segi peruntukannya. Misalnya saja, berbelanja wadah atau aksesori berbahan dasar emas, perak, intan, dan permata hanya untuk keperluan perabotan rumah.

Qardhawi lantas mengutip pendapat para bijak yang mengatakan keutamaan itu akan melimpah berada di antara sikap berlebih-lebihan dan kikir. Belanja berlebihan termasuk kategori tabzir yang dilarang. Sedangkan terlalu mengirit adalah kikir. Tidak terlalu boros dan tidak pula irit adalah keutamaan.

Inilah bedanya Islam dengan dua agama sebelumnya. Risalah Yahudi menitikberatkan pada kekakuan dan kekasaran hidup. Sedangkan Nasrani terlampau memberikan kelonggaran. Ajaran Islam berada di tengah-tengah.

Syekh Thahir bin Asyur mencoba mengungkapkan dampak sikap boros berbelanja. Menurut dia, selain tindakan itu tidak disukai oleh Allah SWT, berlebihan saat berbelanja bisa mendorong seseorang mendapakan rezeki dengan cara apa pun, termasuk menempuh jalan haram.

Mengapa demikian? Karena menurutnya, orang yang boros akan susah hidupnya. Dana yang ia miliki tidak akan pernah cukup. Ia pun tak segan untuk menggali lubang berutang sana-sini. Maka itu, solusi jangka pendek baginya tak lain ialah memperoleh uang dengan cepat dan jalan pintas.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement