Rabu 20 Jun 2012 23:23 WIB

Kisah Sahabat Nabi: Umair bin Saad, Tokoh tak Ada Duanya (3-habis)

Rep: Hannan Putra/ Red: Chairul Akhmad
Ilustrasi
Foto: Blogspot.com
Ilustrasi

REPUBLIKA.CO.ID, Dengan turunnya ayat Quran ini, terpaksalah Jullas mengakui ucapannya, dan meminta ampun atas kesalahannya, teristimewa di kala diperhatikannya ayat yang mulia yang memutuskan menghinakannya, tetapi di saat yang sama menjanjikan rahmat Allah seandainya ia bertaubat dan mencabut kata-katanya, “Maka seandainya mereka bertobat, itulah yang terlebih baik untuk mereka!”

Karenanya tindakan Umair ini menjadi kebaikan dan berkah kepada Jullas, hingga ia bertobat dan setelah itu keislamannya menjadi baik. Nabi memegang telinga Umair dan berkata kepadanya sambil memuaskan hatinya dengan pujian-pujian, “Hai anak muda, sungguh nyaring telingamu, dan Tuhanmu membenarkan tindakanmu!”

Umar bin Khathab adalah orang yang sangat berhati-hati ketika memilih para gubernurnya. Seolah-olah ia memilih orang-orang yang sama mutunya dengan dirinya. Ia selalu memilihnya dari orang-orang yang zuhud dan saleh, dan orang-orang yang dipercaya dan jujur, yang tidak mengejar pangkat atau kedudukan bahkan tak hendak menerima jabatan tersebut kecuali karena Amirul Mukminin memaksanya untuk menjabatnya.

Sekalipun pandangan tajam dan pengalamannya luas, namun dalam memilih gubemur-gubemur dan pembantu-pembantu utamanya ini, Umar selalu menimbangnya dalam waktu yang panjang dan mengamatinya dengan teliti.

Ia selalu mengulang-ulang pesan atau fatwanya yang mengesankan, “Aku menginginkan seorang laki-laki, bila ia berada dalam suatu kaum, padahal ia adalah rakyat biasa, tetapi menonjol seolah-olah dialah pemimpinnya. Dan bila ia berada di antara mereka sebagai pemimpin­nya, ia menampakkan diri sebagai rakyat biasa.”

“Aku menghendaki seorang gubernur yang tidak membedakan dirinya dari manusia kebanyakan dalam soal pakaian, makanan dan tempat tinggal. Ditegakkannya shalat di tengah-tengah mereka, berbagi rata dengan mereka berdasarkan yang hak, dan tak pernah ia menutup pintunya untuk menolak pengaduan mereka.”

Berdasarkan norma-norma dan peraturan yang keras inilah, ia memilih Umair bin Sa’ad untuk menjadi gubernur di Homs. Umair berusaha menolak dan melepaskan diri dari jabatan tersebut tetapi sia-sia, karena Amirul Mukminin tetap mengharuskan dan memaksanya.

Umair pun memohon kepada Allah petunjuk dengan shalat istikharah, dan kemudian melaksanakan tugas kewajibannya. Setelah berjalan setahun masa jabatannya di Homs itu, tak ada hasil pemungutan pajak yang sampai ke Madinah. Bahkan, tak ada sepucuk surat pun yang datang kepada Amirul Mukminin.

sumber : 101 Sahabat Nabi karya Hepi Andi Bastoni
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement