Selasa 19 Jun 2012 11:16 WIB

Implikasi Ketakterbandingan dan Keserupaan (4-habis)

Ilustrasi
Foto: Blogspot.com
Ilustrasi

Oleh: Prof Dr Nasaruddin Umar

Sebagai contoh, shalat bagian dari ketentuan syariah. Shalat tidak punya arti tanpa kualitas kekhusyukan, sebagaimana firman Allah, "Dirikanlah shalat untuk mengingat Aku." Demikian pula ibadah-ibadah mahdzah lainnya, semua diukur berdasarkan ukuran kualitas.

Sedangkan ahli tasawuf atau para sufi tidak pernah cukup dengan hanya menekankan kualitas dan isi tanpa formulasi ajaran sebagaimana ditetapkan dalam syariah.

Lukisan indah tentang keadaan ini dirumuskan di dalam suatu bait oleh Ibnu Athaillah: "Barangsiapa yang berfikih tanpa bertasawuf maka ia zindiq, barangsiapa yang bertasawuf tanpa berfikih maka ia fasik, barangsiapa yang menggabung antara keduanya maka dialah yang mencapai hakikat."

Kedua kelompok juga menyadari bahwa jika aspek ketakterbandingan lebih ditekankan maka berpotensi akan melahirkan ta'thil atau bid’ah, yang menyatakan bahwa Allah SWT sama sekali tak bersentuhan dengan dunia nyata.

Sebaliknya, jika keserupaan lebih ditekankan maka berpotensi akan melahirkan pemahaman inkarnasi (hulul) atau unifikasi (ittihad), yang menyatukan dan pada akhirnya akan sampai pada kesimpulan Allah dan kosmos adalah satu.

Pandangan-pandangan tersebut di atas berpotensi menimbulkan kekacauan dalam pemikiran umat Islam jika tidak diberikan semacam pemetaan dan polarisasi.

Tujuan berbagai artikel yang dipaparkan di dalam media publik Republika Online ini tidak lain tujuannya adalah untuk memberikan guide line terhadap masyarakat di tengah hiruk pikuk perkembangan pemikiran teologi Islam dalam dasawarsa terakhir ini. Semoga saja artikel-artikel tersebut tidak tambah membingungkan. Allahu a'lam.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
Advertisement

Rekomendasi

Advertisement