Oleh: Prof Dr Nasaruddin Umar
Surga dan neraka bagi manusia ditentukan oleh ketaatan terhadap syariah. Surga bagi mereka yang memberikan ketaatan secara konsisten terhadap Allah SWT sebagaimana diatur dalam syariah dan tentu saja neraka bagi mereka yang melanggar ketentuan syariah.
Sementara kalangan sufi yang membayangkan Allah SWT sebagai Tuhan Yang Mahapengasih, Mahapenyayang, Mahapencinta, Mahapengampun, Mahapenerima taubat, Mahamemahami, Mahadekat, dan Mahapemurah.
Hubungan Allah SWT dengan hamba-Nya amat dekat, terutama bagi mereka yang selalu berusaha untuk lebih mendekatkan diri pada-Nya. Bagi para sufi, Allah SWT lebih tepat untuk dicintai ketimbang ditakuti.
Allah SWT bukan Sosok Yang Mahamengerikan untuk ditakuti, melainkan Sosok Mahalembut untuk dicintai. Kalangan sufi melihat sisi lain kapasitas manusia sebagai khalifah, di samping dirinya sebagai hamba. Sebagai khalifah, manusia memiliki aspek keserupaan di dalam ketakterbandingan dengan Allah SWT.
Manusia sebagai representasi Allah SWT di dalam mengelola alam semesta. Ilmu dan power untuk menjadi khalifah-Nya di muka bumi sudah di-instal ke dalam diri manusia. Allah SWT juga telah mengajari Adam dengan nama-nama secara keseluruhan (QS. Al-Baqarah: 31).
Dengan demikian, manusia juga mengenal dan memiliki “al-asma al-husna” sesuai dan dalam kapasitasnya sebagai khalifah, representatif Allah SWT.
Isyarat kedekatan diri hamba dengan Allah SWT digambarkan dalam banyak ayat dan hadis, antara lain, "Allah senantiasa bersamamu di mana saja kalian berada." (QS. Al-Hadid: 4), Dia "lebih dekat kepada lehermu sendiri." (QS. Qaf: 16), "Ke manapun kamu berpaling dan menghadap di situ engkau menjumpai wajah Allah." (QS. Al-Baqarah: 115).
Begitu dekat Allah dan hamba-Nya maka ia berfirman, "Manakala hamba-hamba-Ku bertanya kepadamu tentang Aku maka sesungguhnya Aku dekat. Aku mengabulkan seruan orang-orang yang berdoa manakala dia berdoa kepada-Ku." (QS. Al-Baqarah: 186).




