Oleh: Prof Dr Nasaruddin Umar
Memang, tidak gampang menjelaskan konsep ketakterbandingan dalam keserupaan (incomparability in similarity). Logika tidak sanggup atau amat sulit mencernanya, karena diperlukan lebih dari sekadar pengertian, tetapi rasa yang mendalam.
Diperlukan epistimologi khusus untuk memahami hal ini. Epistimologi dalam dunia filsafat yang digunakan para mutakallimin sulit menjangkau apalagi mengerti dan menghayati konsep ini.
Para sufi mensyaratkan pencerahan dan iluminasi untuk memahami sejumlah term sufi, termasuk konsep incomparability in similarity ini. Bagi orang yang menembus hijab dan menggapai mukasyafah, tentu tidak ada kesulitan untuk memahami hal ini.
Alquran juga sudah mengingatkan ilmu tidak cukup untuk memahami sesuatu yang bersifat metafisik, seperti pembicaraan tentang roh (QS. Al-Isra': 85), namun Allah SWT memberikan isyarat kemungkinan untuk memahami apa pun jika menggunakan inner power manusia yang dikaruniakan Allah berupa kemampuan untuk mendekatkan diri kepada Allah SWT (taqarrub ila Allah).
Allah SWT akan menganugerahkan "hikmah" (nama lain dari makrifah) untuk bisa memahami segalanya, termasuk memahami Yang Mahasulit Dipahami, yaitu Allah SWT: QS. Al-Baqarah: 269: Allah menganugerahkan al-hikmah kepada siapa yang Dia kehendaki. Dan, barang siapa yang dianugerahi al-hikmah itu, ia benar-benar telah dianugerahi karunia yang banyak. (QS 2: 269). Dalam hadis lebih jelas lagi: "Barang siapa memahami dirinya maka diberi kemampuan untuk memahami Tuhannya."
Jika kita menafikan sama sekali keserupaan maka kita tidak punya entry point untuk memahami diri-Nya. Salah satu hikmah Allah SWT memperkenalkan asma dan sifat-sifat-Nya karena ingin memperkenalkan diri-Nya.
Jadi, Asma Al-Husna sesungguhnya bisa dipahami sebagai lorong-lorong rahasia menuju, mengenal, menghayati, dan "menyatukan diri" dengan Allah SWT.




