REPUBLIKA.CO.ID, Kalau memakai rukyat, apa masalahnya?
Kami menganggap ada beberapa persoalan dalam penggunaan rukyat. Pertama, pada zaman Nabi, umat Islam baru ada di Jazirah Arab saja. Sehingga, kalau rukyat di Makkah atau Madinah tidak ada problem dengan daerah luar atau yang jauh dari Arab. Tetapi, pada zaman modern sekarang, umat sudah ada di mana-mana.
Rukyat menimbulkan problem sebab rukyat di muka Bumi terbatas. Bisa jadi di Arab Saudi bisa terukyat, di Indonesia belum. Karena, dalam ilmu falak, Bulan bergerak secara semu. Ini akan menimbulkan masalah. Pada bulan haji, di Makkah sudah terlihat, di Indonesia bulan Dzulhijjah belum terlihat.
Akibatnya, di Makkah besoknya tanggal 1 Dzulhijjah, di Indonesia tanggal 1 Dzulhijjah baru pada lusa. Maka, tanggal 9 Dzulhijjah jadi ber beda, di Makkah tanggal 9 Dzulhijjah jamaah haji wukuf, kita baru tanggal 8 Dzulhijjah.
Bagi kita ini masalah, kapan kita melaksanakan puasa Arafah atau puasa ketika jamaah haji wukuf. Misal, wukuf tanggal 9 Dzulhijjah, kita baru tanggal 8. Kalau kita tetap puasa berarti pada tanggal 8, padahal pua sanya tanggal 9. Tapi, kalau kita tunggu 9 Dzulhijjah, di sana sudah Idul Adha. Bukan puasa Arafah lagi, melainkan puasa Idul Adha.
Inilah kelemahan rukyat yang pertama, yakni tidak bisa menyatukan tanggal dan momen pelaksanaan iba dah haji seperti puasa Arafah. Maka itu, kita masih bertahan gunakan hisab, jadi bukan ngeyel-ngeyelan.
Kelemahan rukyat kedua, intensitas pergerakan umat lintas negara sudah sangat tinggi. Rukyat potensial menyebabkan puasa Ramadhan seseorang hanya 28 hari. Padahal, Nabi bersabda, puasa itu 29 atau 30 hari.
Contoh kasus pada zaman Khalifah Ali bin Abi Thalib. Umat berpuasa 28 hari, ini karena pada awal bulan, Bulan tidak tampak karena tertutup awan sehingga digenapkan. Bulan Ramadhan menjadi lusa, padahal Bulan sudah tinggi. Akhirnya, baru 28 hari kok Bulan sudah muncul. Pun pada zaman modern juga banyak terjadi hal demikian, umat puasa 28 hari, terutama bagi mereka yang pergi lintas negara.