REPUBLIKA.CO.ID, Setiap kali menjelang Ramadhan, Idul Fitri, maupun Idul Adha, umat Islam di Tanah Air selalu bertanya-tanya, apakah hari-hari besar Islam itu akan dilaksanakan serempak oleh umat atau tidak. Pertanyaan sema cam itu wajar mengemuka. Sebab, sudah beberapa kali umat Islam di Indonesia merayakan Lebaran ataupun mengawali Ramadhan dalam waktu yang tidak ber samaan. Ada yang merayakan lebih dahulu dan yang lain belakangan. Hal ini terjadi lantaran masih ada beda pandangan di kalangan ormas Islam terkait penentuan waktunya.
Seperti dijelaskan Ketua Majelis Tarjih dan Tajdid PP Muhammadiyah Prof Dr H Syamsul Anwar MA, pihaknya selama ini menerapkan metode hisab atau penghitungan berdasarkan kriteria geometris benda langit tertentu dalam menentukan awal bulan. Syamsul yang juga guru besar Fakultas Syariah UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta menegaskan, pihaknya tetap memakai metode ini karena dinilai lebih memberikan kepastian dalam penentuan awal bulan.
Kepada wartawan Republika, Yusuf Assidiq, yang mewawancarainya beberapa waktu lalu, Syamsul menjelaskan seputar alasan pemilihan metode hisab, kriteria penentuan awal bulan, landasan ilmiah dan syar’i, serta kaitannya dengan metode rukyat. Berikut petikannya.
Sejak kapan metode hisab diterapkan Muhammadiyah?
Sejak Kiai Ahmad Dahlan mendi rikan Muhammadiyah, sebenarnya organisasi keagamaan ini sudah berwawasan hisab. Hisab di sini dalam artian luas, bukan hanya untuk me nentukan awal bulan, melainkan juga meluruskan kiblat masjid, menghitung awal waktu, dan sebagainya. Dalam perjalanannya, metode tersebut dikembangkan terus. Maka, sekarang kita menggunakan yang disebut hisab wujudul hilal.
Bagaimana prinsip hisab ini?
Intinya adalah penentuan awal bulan tidak dikaitkan dengan penampakan. Jadi, murni suatu kriteria geo metris. Maksudnya, berdasarkan po sisi-posisi benda langit, semisal terbenamnya Matahari, Bulan, dan sebagainya. Saat ini kita berpegang pada tiga kriteria.
Pertama, untuk memasuki bulan baru harus sudah terjadi konjungsi (ijtimak). Putaran Bulan mengelilingi Bumi dalam satu putaran sinodis (satu keliling lebih sedikit). Adapun maksud ijtimak adalah posisi benda langit berada pada satu garis lurus, contoh nya Bumi, Bulan, dan Matahari posisi nya sejajar. Sehingga, Bulan baru adalah apabila sudah terjadi konjungsi serta kembali ke garis sejajar. Ada hadis menyatakan, “Sesungguhnya kami adalah umat yang umi, kami tidak bisa menulis dan tidak bisa melakukan hisab. Bulan itu adalah demikian-demikian. Maksudnya ada lah kadang-kadang 29 hari dan kadang-kadang 30 hari.” (HR al-Bu khari dan Muslim)
Ini artinya, proses Bulan menge lilingi Bumi. Dalam putaran sinodis, Bulan mengelilingi Bumi selama 29,5 hari. Tapi, karena Bulan tidak ada 29,5 hari maka yang setengah dimasukkan pada Bulan yang lain. Kedua, ijtimak harus terjadi sebelum Maghrib atau sebelum Matahari terbenam. Karena, Matahari terbenam adalah akhir dari hari sedang berjalan dan awal hari baru.