Jumat 15 Jun 2012 19:37 WIB

Keesaan dalam Keberagaman (1)

Ilustrasi
Foto: Wordpress.com
Ilustrasi

Oleh: Prof Dr Nasaruddin Umar

Keesaan dalam keragaman atau keragaman dalam keesaan diakui hampir di semua agama. Hanya saja untuk sampai ke pemahaman seperti ini diperlukan kesadaran yang lebih tinggi.

Hanyalah orang yang berada di dalam makam tertentu bisa melihat dan merasakan hakikat keberadaan Yang Mahaesa di dalam keberagaman wujud.

Berawal dari keinginan Allah SWT untuk memperkenalkan diri-Nya, sebagaimana diungkapkan di dalam hadis Qudsi, “Aku pada mulanya harta yang tersembunyi, kemudian Aku ingin dikenal, maka kuciptakanlah makhluk dan melalui Aku mereka pun kenal pada-Ku.”

Sebelum Allah SWT memperkenalkan diri-Nya maka tidak ada yang bisa mengerti Allah SWT selain Diri-Nya. Allah SWT ketika itu masih tetap pada puncak dari segala puncak rahasia (sirr al-asrar) atau dalam Islatilah Ibnu Arabi Allah SWT dalam kapasitasnya sebagai Ahadiyah.

Ketika Ia mau memperkenalkan diri-Nya, maka Ia memperkenalkan identitas diri-Nya yang oleh para teolog (mutakallimin) lebih dikenal dengan nama-nama-Nya (al-Asma) dan oleh para sufi lebih dikenal dengan sifat-sifat-Nya (al-Aushaf).

Keberadaan potensi dan aktualisasi di tingkat awal ini sudah pernah dibahas di dalam artikel terdahulu di dalam konsep al-A'yan al-Tsabitah, yakni sebuah keberadaan yang masih bersifat potensial dan tersembunyi dalam pengetahuan Tuhan (Ilmiyyah al-Haq). Keberadaan ini juga sering disebut berada pada level Wahidiyyah.

Keberadaan ini belum berada pada level alam yang sudah merupakan keberadaan aktualitas yang konkret (maujud/existence) atau menurut Ibnu Arabi disebut dengan al-A'yan al-Kharijiyyah, yakni sesuatu yang berwujud di level konkret melalui proses emanasi agung (al-faidh al-muqaddas).

Keberadaan entitas-entitas ini merupakan hasil emanasi awal (al-tajalli al-awwal/al-faidh al-aqdas). Proses emanasi agung melahirkan al-A’yan al-Kharijiyyah, yaitu keberadaan yang sudah aktual, bukan lagi keberadaan potensial. Disebut demikian karena berada di lingkaran luar dari al-A’yan al-Tsabitah. Keberadaan yang terakhir ini tidak lagi disebut entitas tetap (al-tsabit) karena sudah bersifat aktual dan menerima perubahan (al-hawadits).

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
Advertisement

Rekomendasi

Advertisement