Rabu 13 Jun 2012 19:39 WIB

Bi At-Ta'bir Ar-Ru'ya, Arti Sebuah Mimpi (1)

Rep: Nashih Nashrullah/ Red: Chairul Akhmad
Kitab (ilustrasi).
Foto: Wordpress.com
Kitab (ilustrasi).

REPUBLIKA.CO.ID, Diriwayatkan dari Anas bin Malik RA, Rasulullah pernah bersabda, “Mimpi yang baik dari orang saleh adalah bagian dari 46 unsur kenabian.” (HR. Ibnu Majah).

Mimpi dalam Islam tak sekedar bunga tidur. Bagi orang-orang tertentu yang memiliki derajat keimanan yang tinggi, mimpi bisa memiliki makna yang beragam dan mendalam.

Tradisi penafsiran mimpi sendiri, sudah berlaku sejak peradaban manusia ada. Nabi Yusuf misalnya, dikenal ahli dan mampu menakwil mimpi.

Dalam tradisi intelektual ulama klasik, aktivitas menafsirkan mimpi juga banyak mendapat perhatian. Banyak tokoh yang dikenal mahir mengartikan mimpi dan menghasilkan karya monumental, salah satunya adalah Ibnu Sirin, seorang tokoh yang bernama lengkap Abu Bakar Muhammad bin Sirin Al-Anshari.

 

Dalam kitabnya yang berjudul Bi At-Ta’bir Ar-Ru’ya, ia memaparkan hal ihwal yang berkenaan dengan mimpi. Selain kitab itu, sebenarnya ada satu lagi kitab yang disandarkan kepemilikannya terhadap Ibnu Sirin; Al-Muntakhab Al-Kalam fi Tafsir Al-Ahlam. Kitab yang pertama, oleh mayoritas ulama, valid diakui buah karyanya.

Ibnu Khaldun misalnya, menegaskan hal itu dalam Muqaddimah. Sosiolog Muslim tersebut menyebut Ta’bir murni karya Ibnu Sirin. Lain halnya dengan kitab yang kedua, Al-Muntakhab, Az-Zarkali meragukan kebenaran penyandaran kitab tersebut atas Ibnu Sirin.

Ta’bir Ar Ru’ya terdiri atas 25 bab utama. Ibnu Sirin mengawali kitabnya tersebut dengan meletakkan prinsip dan kaidah dalam penafsiran dan pembacaan mimpi. Menurut dia, penafsiran mimpi bukan aktivitas sembarangan. Mimpi, dalam Islam—sebagaimana disebutkan dalam beberapa hadis antara lain nukilan Ibnu Majah—adalah sebagian kecil dari 46 instrumen kenabian.

Karena itu, para penakwil mimpi setidaknya harus menguasai Alquran dan hafal hadis-hadis Nabi, paham tentang karakter dan pola hidup manusia, dan mengetahui kaidah-kaidah penakwilan.

Bekal seperti ini, dalam pandangan tokoh kelahiran Basra tersebut, penting dimiliki oleh penakwil mimpi. Mimpi muncul dengan latar belakang yang berbeda, baik waktu maupun tempatnya.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement