Oleh: Prof Dr Nasaruddin Umar
Salah satu pembahasan yang amat rumit di dalam ilmu filsafat dan ilmu tasawuf ialah masalah jauhar dan aradh.
Kesulitannya bukan hanya dari segi ontologinya yang akan membahas dari sesuatu yang sangat konkret sampai ke yang mahaabstrak, melainkan juga kita akan mengabstrakkan yang konkret dan mengonkretkan yang abstrak.
Dalam tulisan ini lebih rumit lagi karena juga akan dicoba mengungkap perbedaan antara jauhar dan aradh menurut kalangan filsuf dan menurut kalangan sufi.
Jauhar adalah substansi dari sebuah wujud yang dapat mewujudkan dirinya sendiri tanpa bantuan wujud lain, seperti badan, pohon, batu, dan lain sebagainya. Sedangkan, aradh adalah accident yang tidak memiliki substansi wujud tersendiri, tetapi memerlukan wujud lain untuk mewujudkan dirinya, seperti warna dan bentuk.
Jauhar dan aradh, menurut para filsuf, merupakan dua struktur entitas yang berbeda walau pun keduanya sulit untuk dipisahkan. Sedangkan menurut kalangan sufi, aradh dan jauhar bukanlah merupakan dua entitas yang berbeda, tetapi yang satu merupakan hakikat dan lainnya merupakan manifestasi.
Seperti Allah sebagai hakikat wujud (al-Haqiqah al-Wujud), kemudian memunculkan manifestasi (madzhar). Antara hakikat wujud dengan wujud-wujud (a’yan) yang mewujudkan diri-Nya walaupun keduanya berbeda, tidak bisa dipisahkan satu sama lain.
Jauhar dan aradh adalah dua manifestasi yang mewujudkan diri-Nya. Yang pertama, (jauhar) manifestasi mampu mewujudkan dirinya sendiri, sedangkan yang kedua (aradh manifestasi yang tidak mampu mewujudkan dirinya, dengan kata lain ia memerlukan jauhar-jauhar untuk memantulkan keberadaan dirinya sendiri.
Contohnya, bendera Indonesia, merah putih, tidak mungkin bisa terwujud tanpa ada bahan kain atau tembok tempat warna merah putih itu menempel. Kain atau tembok adalah jauhar, sedangkan warna merah dan putih adalah aradh.
Contoh lain, sebuah nama dengan yang dinamai. Nama adalah menempel pada sebuah zat, karena itu nama disebut jauhar dan zat yang dinamai disebut aradh.