Kamis 31 May 2012 19:36 WIB

Antara Ilmu Hudhuri dan Ilmu Hushuli (2)

Ilustrasi
Foto: Blogpspot.com
Ilustrasi

Oleh: Prof Dr Nasaruddin Umar

Kejadian-kejadian yang dilakukan gurunya betul-betul tidak masuk dalam pikiran Musa, maka pada peristiwa ketiga ini Musa nekat kembali mempertanyakan keabsahan perbuatan gurunya. Akhirnya, Khidir menilai Musa belum siap untuk menjadi muridnya.

Menjelang perpisahan antara guru dan murid, sang guru memberikan penjelasan terhadap kejadian-kejadian itu.

Pertama, perahu nelayan itu dilubangi karena sebentar lagi raja tiran negeri itu bersama para pasukannya akan melakukan kenduri di pantai. Perahu-perahu laik pakai di pantai itu akan dirampas.

Para pemilik perahu bocor merasa berterima kasih kepada orang yang telah berbuat baik kepada mereka. Perahu-perahu mereka pun akan lenyap seandainya masih dalam kondisi baik.

Kedua, anak itu akan menjadi racun masyarakat di kemudian hari, termasuk mengafirkan kedua orang tuanya yang beriman, sementara kedua orang tuanya masih akan dikaruniai anak-anak lain yang saleh.

Ketiga, di bawah reruntuhan bangunan tua itu tersimpan harta karun yang besar nilainya, sementara ahli waris harta itu masih kecil. Dikhawatirkan jika bangunan tua itu ambruk, maka harta karun akan tersingkap dan jatuh di tangan orang lain. Bangunan itu akan runtuh ketika sang ahli waris sudah dewasa. Nabi Musa kembali tercengang untuk kesekian kalinya mendengarkan penjelasan gurunya.

Kalangan ilmuwan menganggap Musa sebagai representasi dari ilmu hushuli dan Khidir sebagai representasi dari ilmu hudhuri. Ilmu hushuli ialah ilmu yang memisahkan subjek ilmu pengetahuan ('alim) dan objek ilmu pengetahuan (ma'lum).

Kehebatan seseorang sangat ditentukan oleh kemampuannya untuk menguasai objek-objek di luar dirinya. Semakin ahli seseorang di dalam menemukan suatu karya dalam suatu bidang, maka semakin hebat pula orang itu.

Para ilmuwan yang banyak tergabung di dalam aliran hushuli umumnya dari para filsuf, fukaha, dan teolog. Dengan bangga, di antara mereka ada yang mengklaim dirinyalah sebagai ilmuwan sejati. Kelompok ini lebih terkesan antroposentris karena cenderung menafikan objek-objek di luar diri manusia untuk mengatur dirinya.

Dengan kata lain, yang paling tahu apa, siapa, dan bagaimana kebutuhan dan kehendak manusia ialah dirinya sendiri, bukan unsur asing, apalagi unsur gaib.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
Advertisement

Rekomendasi

Advertisement