Kamis 31 May 2012 13:30 WIB

Syamsul Arifin Nababan: Mualaf Butuh Kepedulian Muslim

Rep: Devi Anggraini Oktavika/ Red: Heri Ruslan
Syamsul Arifin Nababan
Foto: RAHMAN SADLY/REPUBLIKA.CO.ID
Syamsul Arifin Nababan

REPUBLIKA.CO.ID, Muslim selalu bersuka-cita saat mendengar si Fulan telah meninggalkan agamanya dan berikrar mengucap syahadat. Sayangnya, bagaimana keislaman dan kehidupan si Fulan setelah berislam, sejauh ini tak banyak yang peduli. Padahal, pascasyahadat justru menjadi masa pertarungan yang tidak mudah bagi si mualaf. Bisa jadi ia dikucilkan, diusir, dipecat dari pekerjaan, dan sebagainya.

“Tak ada yang peduli dengan kebutuhan mualaf,” ujar Syamsul Arifin Nababan, salah seorang tokoh mualaf Indonesia, prihatin.

Keadaan itu mendorong dia mendirikan pesantren khusus pembinaan mualaf, Annaba’ Center, tiga tahun lalu. Ini adalah pesantren pembinaan mualaf pertama di Indonesia. Kepada wartawan Republika, Devi Anggraini Oktavika, mantan pendeta yang masuk Islam pada 1991 ini menjelaskan secara panjang lebar seputar minimnya perhatian umat Islam kepada para mualaf.

Dipaparkan juga rintangan sekaligus potensi di balik meningkatnya jumlah non-Muslim yang beralih keyakin an menjadi Muslim. Berikut petikan lengkap perbincang an dengan pria yang sebelum memeluk Islam bernama Bernard Nababan itu.

Bagaimana Anda melihat perkembangan Islam dan pembinaan mualaf di Indonesia?

Jika berbicara kuantitas, jumlah mualaf Indonesia kian hari kian besar, baik yang terdata maupun yang tidak, di kota-kota besar ataupun di daerah. Hanya saja, soal kualitas masih memerlukan perhatian khusus. Hal itu lantaran pembinaan khusus bagi mualaf di negeri ini masih sangat minim, bahkan hampir tidak ada.

Apa tolok ukur minimnya pembinaan itu?

Kita bisa lihat dari seberapa banyak lembaga atau institusi yang didirikan khusus untuk menangani para mualaf. Di Indonesia, yang banyak kita temukan adalah semacam komunitas mualaf, ditambah sejumlah masjid yang membuka pintu bimbingan bagi mereka. Selebihnya, tidak ada.

Lalu, apa urgensi dari keberadaan institusi pembinaan mualaf itu?

Keberadaan komunitas-komunitas mualaf kan hanya berfungsi sebagai tempat sharing, perkumpul an, dan silaturahim antarmualaf. Sedangkan mualaf membutuhkan lebih dari sekadar itu.

Mereka disebut mualaf karena memiliki keimanan yang masih lemah. Bahkan, pemahaman mereka tentang Islam sendiri hanya sekitar 60 atau 70 persen saat masuk Islam dan hanya sebagian kecil yang mencapai 90 persen. Di saat yang sama, mereka dihadapkan pada berbagai permasalahan yang datang di antaranya dari lingkungan keluarga dan lingkungan kerja, seperti diusir dari rumah atau dipecat dari pekerjaan mereka.

Di sinilah keberadaan lembaga atau institusi pendidikan sangat dibutuhkan, baik dalam hal pembinaan keislaman, bimbingan psikologis, hingga dukungan secara ekonomi. Semua permasalahan yang dihadapi para mualaf dapat menghambat totalitas mereka dalam mendalami dan memeluk Islam secara kafah. Bukan tidak mungkin mereka akan kembali murtad karena tidak mampu menahan tekanan di sekitarnya, bukan? Di situlah letak urgensinya.

Namun, jangankan berharap akan berdiri lebih banyak pesantren khusus mualaf, kepedulian pada institusi yang sudah ada saja masih nihil. Annaba’ Center adalah satu-satunya pesantren khusus mualaf di Indonesia. Belum satu pihak pun menunjukkan kepedulian, sedangkan para mualaf tak mungkin dibebani dengan tuntutan finansial. Jika sejauh ini pesantren itu dapat bertahan, itu semata karena pertolongan Allah.

Mualaf kan termasuk dalam golongan penerima zakat. Sejauh ini, bagaimana peran lembaga zakat yang banyak tersebar di Indonesia terhadap pembinaan mualaf?

Itulah yang saya sayangkan, keberadaan mereka ternyata tidak menyentuh kebutuhan para mualaf yang oleh surah at-Taubah jelas dimasukkan dalam golongan mustahik (orang yang berhak atas zakat). Kita tahu, badan-badan atau lembaga-lembaga itu bukan sekadar pengumpul sumbangan atau infak bagi kaum miskin. Mereka jelas-jelas menyebut “zakat” dalam nama mereka. Maka dari itu, seharusnya ada hak para mualaf di antara uang atau logistik yang berhasil mereka himpun.

Dalam beberapa tahun, saya tidak sekali-dua kali mendatangi beberapa badan pengelola zakat dan menjelaskan kebutuhan para mualaf. Namun, hanya satu yang datang memberikan bantuan, hanya sekali dan tidak pernah kembali. Itu sangat memprihatinkan.

Jika selama ini muncul citra negatif karena banyaknya mualaf yang meminta sumbangan dari masjid ke masjid, umat Islam seharusnya malu bukan karena apa yang para mualaf itu lakukan. Kita seharusnya malu karena hal itu justru menunjukkan ketidakpedulian antar-Muslim.

Mengenai istilah mualaf itu sendiri, sampai kapan sebenarnya seseorang bisa disebut mualaf?

Istilah mualaf diperuntukkan bagi mereka yang lemah imannya. Karena itu, menurut saya, gelar itu berlaku hingga iman mereka stabil. Lamanya tentu saja bervariasi, tergantung intensitas dan kualitas pendalaman Islam yang mereka peroleh.

Agar tidak disalahartikan atau bahkan disalahgunakan, pelekatan gelar mualaf pada seseorang memang perlu dibatasi. Namun, persoalannya kemudian adalah pembatasan itu tidak mungkin dilakukan jika tidak ada pembinaan. Logikanya, bagaimana iman para mualaf itu bisa stabil jika mereka tidak mendapatkan pembinaan? Itulah pekerjaan rumah kita.

Kembali pada urgensi institusi pembinaan mualaf, tidakkah ribuan pesantren yang tersebar di seluruh penjuru negeri ini bisa menjawab kebutuhan tersebut?

Sekilas, pesantren pada umumnya kita anggap bisa menjadi tempat belajar siapa pun yang ingin memperdalam Islam. Namun, jika kita tanyakan itu pada para mualaf yang pernah mencoba nyantridi pesantren-pesantren umum, kita akan tahu bahwa itu tidak efektif. Mualaf membutuhkan penanganan khusus, baik secara pemahaman maupun secara psikologis. Untuk itu, yang menangani mereka harus institusi khusus mualaf.

Seperti apa pembedaan itu dan apa yang harus ditekankan dalam pembinaan mualaf?

Pembedaan itu tentu dengan menyesuaikan kurikulum dan program pendidikan dengan kebutuhan para mualaf. Yang harus ditekankan mula-mula adalah apa yang mereka butuhkan untuk menstabilkan iman mereka, yakni persoalan akidah. Minimal, selain mantap berislam, mereka juga mampu menjawab pertanyaan mendasar “Apa itu Islam?”

Jika belajar di pesantren umum, secara langsung atau tidak, mereka akan banyak terbebani oleh berbagai materi yang belum mereka butuhkan, seperti hafalan Alquran dan berbagai kaidah dalam ilmu-ilmu Islam. Itu belum termasuk kendala psikologis disebabkan mereka harus belajar dengan santri-santri yang berusia jauh lebih muda dari mereka.

Melihat fenomena yang ada saat ini, apa harapan Anda dalam hal pembinaan mualaf Indonesia ke depan?

Diakui atau tidak, tak jarang Muslim dengan latar belakang agama non-Islam tampil menjadi perisai saat agama kita diserang atau dihujat oleh kaum non-Muslim yang membenci Islam. Mereka memiliki kelebih an dalam pemahaman soal perbanding an agama dibandingkan mereka yang telah Muslim sejak lahir. Karena itu, pembinaan yang mumpuni bagi mualaf juga berarti pembangunan kekuatan Islam, sekaligus memperbesar potensi dakwah Islam di kalangan non-Muslim.

Untuk itu, harus ada perhatian dan kepedulian dari umat Islam Indonesia seluruhnya. Potensi Muslim di negara ini sangat besar dan akan maksimal jika ditunjang kemauan untuk maju dan berkembang. Kalau itu sudah ada, Insya Allahtidak ada yang tidak mungkin kita lakukan karena kita adalah umat yang sangat besar.

Kepedulian itu bisa ditunjukkan dengan berbagai hal, sesuai dengan fungsi yang masing-masing kita emban. Badan atau lembaga zakat, media terutama yang berbasis Islam, para tokoh Islam, semua dapat berperan dengan cara mereka masing-masing.

Di benak saya terlintas ide, jika memang badanbadan penghimpun zakat tidak bisa mengalokasikan sebagian zakat itu untuk mualaf, mengapa tidak kita buat saja semacam “Dompet Mualaf”? Peruntukannya lebih jelas dan saya yakin akan lebih efektif

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement