Senin 07 May 2012 17:27 WIB

Islam di Burundi: Geliat Islam di Tengah Konflik

Rep: Devi Anggraini Oktavika/ Red: Heri Ruslan
Islam di Burundi
Foto: flicker
Islam di Burundi

REPUBLIKA.CO.ID, Burundi dikenal sebagai salah satu negara termiskin di dunia, namun kaya konflik. Di tengah berbagai keterbatasan itu, umat Islam Burundi masih berupaya untuk menunaikan ibadah haji ke Tanah Suci. Musim Haji 1432 H, ada 44 Muslim dari negeri yang terletak di Afrika Timur itu yang berkesempatan untuk bertamu ke Rumah Allah SWT.

‘’Ini adalah kesempatan sekali dalam seumur hidup. Ketika jamaah haji kembali, kita berharap mereka akan menjadi Muslim yang sebenarnya, karena mereka mendapatkan kesempatan untuk bertobat selama perjalanan,’’ ujar  Mufti Abdul Karim Gahutu, seperti dikutip laman allafrica.com.

    

Para jamaah haji dari Burundi itu mengaku sangat bahagia bisa menunaikan rukun Islam yang kelima. Betapa tidak. Untuk bisa melakukan perjalanan yang menghabiskan biaya 2.950 dolar AS atau 26,5 juta itu mereka harus menunggu cukup lama.

   

‘’Kami yakin akan semakin dekat dengan Allah. Semoga sepulang dari haji, saya bisa memulai kehidupan yang baru,’’ tutur Isaac Munyakazi, salah seorang jamaah. Ya, bisa menunaikan ibadah haji ke Makkah adalah impian setiap Muslim, di manapun berada.

   

Jika tahun ini ada 220 ribu umat Islam dari Indonesia yang bisa menunaikan ibadah haji, dari Burundi hanya ada 44 Muslim saja yang bisa bertamu ke Rumah Allah SWT.  Bisa dimaklumi, karena selain negara itu tergolong miskin, Islam juga menjadi minoritas di negara yang berbentuk republik itu,

                                                                       ***

Menurut data pada Pew Research Center, pada 2009 jumlah Muslim di Burundi hanya mencapai 180 ribu jiwa atau dua persen dari total populasi negera itu. Namun, berdasarkan data The World Factbook dalam situs CIA yang diperbarui setiap pekan,  populasi Muslim di Burundi mencapai 10 persen dari total penduduk.

Agama mayoritas di negara itu adalah Kristen yang mencapai  67 persen. Sisanya adalah agama pribumi, yang dipeluk oleh 23 persen penduduknya. Meski minoritas, umat Islam di Burundi sudah mulai merasakan nikmatnya libur di hari raya Idul Fitri.

Sejak Idul Fitri 1426 H bertepatan dengan 2005, hari raya umat Islam itu untuk pertama kalinya ditetapkan sebagai hari libur nasional Burundi, setelah negara itu merdeka selama 43 tahun. Sejatinya, kehidupan Islam telah berdenyut lebih dari dua abad kehidupan Islam di negara Afrika Timur itu.

Republik Burundi itu adalah negara tanpa wilayah laut di wilayah Great Lakes Afrika Timur. Ia berbatasan langsung dengan Rwanda di sebelah utara, Tanzania di timur dan selatan, dan Kongo di sebelah barat. Luas wilayahnya kurang dari 27.834 km2 dengan perkiraan populasi 10.216.190 jiwa (perkiraan Juli 2011, CIA). Meski berada di wilayah Afrika Timur, posisinya di Benua Afrika membuatnya kerap dianggap sebagai bagian dari Afrika Tengah. Burundi merdeka dari kolonialisasi Belgia pada 1 Juli 1962.

                                                                       ***

Burundi adalah negeri seribu masalah. Kelaparan, HIV/AIDS, kemiskinan, dan konflik etnis pada 1990-an yang menewaskan ratusan ribu rakyat sipil adalah masalah besar yang tengah melilit negara itu. Lalu bagaimana kehidupan umat Islam di negara itu?

Insani Yardim Vakfi, sebuah yayasan kemanusiaan  berbasis di Turki, mengungkap, pada 2007 pendidikan masih menjadi permasalahan signifikan di Burundi, terutama di kalangan umat Islam. Sedangkan pedidikan non-Islam lebih baik karena ditunjang berbagai bantuan dari para misionaris.

Sayangnya, kaum Muslim di Burundi tidak memiliki dukungan yang signifikan dari dunia Islam di bidang tersebut. Karena itu, keberadaan sekolah Islam di sana teramat sedikit. Itupun dengan kondisi yang serba terbatas, seperti bangunan sekolah yang setengah jadi atau dibangun sekadarnya, serta jumlah buku ajar dan Alquran yang terbatas.

Kebanyakan anak Muslim belajar di sekolah negeri, di mana kurikulum pendidikan agama hanya membidik murid-murid Kristen. Selain sekolah negeri, sekolah-sekolah Katolik adalah pilihan lainnya.

Xavier Luffin, seorang guru bahasa Arab di Vrij Universiteit, Belgia, dalam artikel berjudul Muslims in Burundi: Discretion and Neutrality (1999) menuliskan, Muslim Burundi memiliki hubungan dekat dengan Kiswahili, bahasa suku Bantu yang memiliki sejumlah kosakata penting dari bahasa Arab. Jarang ditemukan Muslim Burundi yang tidak bisa berbicara bahasa ini. Karena itu, istilah "Swahili" sering digunakan untuk menyebut Muslim di Burundi.

Di Burundi, doa dan bacaan shalat dilafalkan dalam bahasa Arab sebagaimana pembacaan Alquran, meski banyak pula Muslim yang membaca Alquran terjemahan dengan bahasa Kiswahili. Pada akhir abad 20, Alquran juga diterjemahkan ke dalam bahasa Kirundi, bahasa Resmi Burundi. Alquran berbahasa Kirundi itu juga dipublikasikan di Kenya atas dana dari Arab Saudi.

Pada masa yang sama, perpindahan agama ke Islam di Burundi (dan juga di negara tetangganya, Rwanda) meningkat. Luffin mengatakan, hal itu didasari kebutuhan mendasar atas spiritualitas pasca-tragedi konflik etnis pada 1993 dan 1995-1996.

                                                                       ***

Muslim Burundi kebanyakan tinggal di beberapa kota seperti Gitega, Rumonge, Nyanza, Muyinga, dan Makamba. Sedangkan komunitas Muslim terbesar ada di Bujumbura, ibukota Burundi. Di kota ini, masjid utama Burundi dan Islamic Cultural Center yang dibangun pemerintah Libia (di bawah pimpinan Presiden Bagaza) berada.

Muslim Burundi berasal dari suku dan bangsa yang beragam. Selain penduduk asli Burundi (Hutu dan Tutsi, konon telah berada di Burundi sejak abad 15), Muslim Burundi juga berasal dari Rwanda. Selain itu, ada pula Warabu (sebutan bagi pedagang Arab dan Oman yang telah tinggal di Burundi), serta Bahindi (orang-orang India dan Pakistan yang juga telah lama bermukim di Burundi).

Selain mereka, orang-orang Afrika Barat juga memasuki Burundi dalam beberapa dekade terakhir. Mereka adalah para pedagang dari Mali, Senegal, dan Pantai Gading yang datang untuk mengimpor pakaian dan kain atau bertransaksi emas yang ditambang dari Kongo. Banyak dari mereka kemudian meninggalkan Burundi saat konflik pecah pada 1993. Sisanya tetap tinggal dan membuka toko-toko kecil di pasar pusat atau di Bwiza.

Dalam Muslims in Burundi: Discretion and Neutrality, dikisahkan bahwa Islam mula-mula diperkenalkan oleh para pedagang Arab dan Swahili yang tiba di Burundi sejak awal abad 19, melalui Samudera Hindia melewati Ujiji (sekarang wilayah di Tanzania) untuk mencari gading dan juga budak.

Sekitar tahun 1850, mereka membuat koloni di Uvira. Ujiji dan Uvira kemudian menjadi titik pertemuan para kafilah dan para pedagang (orang-orang Arab dan Afrika). Dari sana, mereka lalu mulai bertukar produk atau barang dagangan dengan Nyanza dan Rumonge, dua kota tepi danau di Burundi.

Sedikit demi sedikit, Islam mulai masuk ke Burundi. Tahun 1885, gubernur Ujiji, Mohammed bin Khalfan memutuskan untuk memperluas kekuasaannya ke selatan dengan tujuan memperoleh lebih banyak gading dan budak belian. Bin Khalfan merupakan bagian dari Barwani, sebuah keluarga Oman yang masyhur dan telah bermukim di Afrika Timur.

Ia berkali-kali mengirim serangan ke wilayah tepian danau di Burundi. Namun pertahanan Raja Mwami Mwezi IV Gisabo Bikata-Bijoga (raja Burundi yang berkuasa pada 1852-1908) berhasil menahan serangan-serangan tersebut sehingga Bin Khalfan gagal menguasai Burundi.

Pada 1890, rombongan misionaris pertama tiba di daerah yang sekarang menjadi Kota Burundi. Di sana, mereka menemukan Wangwana, nama yang diberikan pada Muslim Afrika di Afrika Tengah. Dengan kata lain, Muslim telah tiba lebih dahulu daripada Kristen. Saat Perang Dunia I pecah pada 1914, mayoritas populasi Bujumbura memeluk Islam.

Selanjutnya, Islam di Bujumbura meningkat dengan kolonisasi yang dilakukan oleh Jerman yang sebagian tentara kolonialnya beragama Islam. Pada waktu yang sama, para pedagang India dan Arab berduyun-duyun memasuki Bujumbura demi meraup keuntungan berdagang yang lebih besar dari kota yang sedang berkembang tersebut.

Kala itu, Jerman memasukkan orang-orang Swahili dan Banyamwezi dalam satuan polisi dan administrasi, dan Kiswahili menjadi bahasa resmi Jerman Afrika Timur (nama untuk wilayah kolonial Jerman di Afrika Timur).

Pada masa kolonisasi Belgia yang dimulai pada 1919, penduduk Burundi mulai tinggal di Bujumbura. Namun hingga 1957, orang-orang Burundi tidak lebih dari 27 persen dari total penduduk Bujumbura. Selain mereka, terdapat lebih dari 80 suku yang berbicara dalam 34 bahasa berbeda. Saat itu, Muslim berjumlah 35,6 persen dari seluruh populasi yang beragam itu.

 

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
Advertisement
Advertisement