Oleh: Prof Dr Nasaruddin Umar
Secara sains, perempuan dilegitimasi sebagai makhluk yang memiliki hambatan reproduktif, sehingga secara sosiologis, antropologis, dan berbagai disiplin ilmu lainnya, perempuan diasumsikan tidak bisa disejajarkan dengan kaum laki-laki.
Bahkan, dalam disiplin ilmu sejarah yang kemudian diberi nama history (his kata kepunyaan laki-laki dan story peristiwa dan kejadian).
Seolah-olah yang punya sejarah dan sekaligus pelaku sejarah ialah kaum laki-laki. Tidak pernah dipopulerkan kata "herstory". Ini sebuah pengingkaran perempuan sebagai pelaku sejarah.
Keadilan dan kesetaraan gender mikrokosmos lebih awal (untuk tidak mengatakan pertama kali) digagas oleh para pemikir sufistik, terutama Ibnu Arabi yang berani mengatakan bahwa dalam pandangan sufistik perempuan lebih utama dari pada laki-laki dalam berbagai sudut pandang, meskipun pendapatnya juga tidak bebas dari kritik feminis.
Dari sudut teori asal usul penciptaan, laki-laki (Adam) diciptakan dari tanah liat yang terkonotasi rendah dan kotor, sedangkan perempuan (Hawa) diciptakan dari intisari tulang rusuk laki-laki (Adam). Adam jelas lebih mulia daripada tanah.
Dari sudut potensi kedekatan diri kepada Tuhan, perempuan secara kodrati memiliki sifat-sifat utama sebagai hamba (yin) dan laki-laki memiliki sifat-sifat utama sebagai khalifah (yang). Seseorang tidak mungkin menjadi khalifah ideal tanpa sebelumnya menjadi abid (ahli ibadah) ideal.
Dari sudut pandang tasawuf, laki-laki diasumsikan sebagai muatstsir yang menimbulkan pengaruh dalam segala hal, sedangkan perempuan diasumsikan sebagai ma'tsur yang menerima pengaruh dalam segala hal.
Sikap pasrah perempuan ternyata jauh lebih penting dibanding dengan sikap kejantanan laki-laki. Sikap pasrah ringan melejit ke langit, sementara sifat kejantanan amat berat bawaannya ke langit.
Dengan demikian, jelas bahwa kelemahan perempuan ternyata adalah kelebihannya, sedangkan kelebihan laki-laki menjadi kelemahannya.




