REPUBLIKA.CO.ID, Membaca novel ini, pembaca perlu berhenti sejenak dari segala prasangka mengenai poligami. Setidaknya, pembaca diajak untuk mencoba bersabar sebentar, mendengarkan penuturan sang penulis mengenai praktik poligami.
Mengambil setting masyarakat Minangkabau di Sumatera Barat, novel yang berhasil merebut penghargaan Islamic Book Fair (IBF) Award 2012 kategori fiksi dewasa ini mengisahkan tokoh perempuan bernama Tata yang lahir dan hidup dalam sebuah keluarga poligami.
Ibunya, Nilawanti, merupakan madu perempuan yang bernama Rahmi. Uniknya, Nilawanti yang seorang wartawati itu usianya lebih tua beberapa tahun dari Rahmi.
Tata kecil awalnya tidak paham mengenai keadaan tersebut. Namun, lama kelamaan ia menyadari hal tersebut. “Sewajarnyalah aku mulai merasakan bahwa aku bukan dilahirkan dari sebuah keluarga yang biasa. Keluargaku tidak seperti keluarga Rina, Warni, atau Nina sahabat-sahabat karibku. Mereka mempunyai satu ayah dan satu ibu serta hanya beberapa orang saudara. Sedangkan aku mempunyai satu ayah tapi dua ibu….” (hlm 54-55).
Sebagai anak, Tata kecewa melihat kenyataan tersebut. Dan kekecewaan tersebut terus dibawanya hingga dia dewasa—hal yang membuatnya sulit percaya kepada lelaki dan enggan menikah. Namun, di sisi lain, ada hal yang membuatnya takjub sekaligus sulit mengerti, karena kedua wanita tersebut sangat rukun dan bahu-membahu dalam mengurus suami maupun anak-anak mereka bersama. Sungguh berbeda dengan anggapan sebagian orang bahwa poligami akan menimbulkan konflik antara istri tua dan istri muda, dan anak-anak mereka.
Tentu saja, keadaan tak selalu indah. Kegetiran dalam sebuah kehidupan, apalagi hidup di dua ibu dan satu ayah adalah sebuah keniscayaan. Hingga ayah, ibu kandung, dan ibu tirinya (Rahmi) meninggal dunia, Tata masih menyimpan kegetiran itu dalam hatinya.
Penulis yang kini bermukim di Malaysia mengkritisi praktik poligami yang dilakukan masyarakatnya, masyarakat Minangkabau. “Banyak sudah wanita teraniaya karena kasus poligami. Walaupun dalam Islam diperbolehkan berpoligami, bukan berarti tidak ada aturannya. Persyaratannya sudah jelas tersurat dalam Alquran. Tapi mengapa masih banyak pria yang berkilah bahkan menjadikan ajaran Islam dalam berpoligami sebagai tameng untuk mencapai niat pribadinya?” (hlm 276).
Namun, tak sampai di situ, dia pun mencoba memberikan gambaran yang lebih adil tentang konsep poligami. “Tidak semudah itu memutuskan menikah lebih dari satu. Islam membenarkan tapi ada ketentuan-ketentuannya yang harus dijalani… Seorang laki-laki diperbolehkan menikah sampai empat kali dengan maksud semata-mata untuk melindungi atau mengangkat harkat martabat perempuan tersebut.” (hlm 237).
Dan ketika berbicara tentang keadilan dalam berpoligami, penulis menggambarkannya dengan manis, “Kadang kala keadilan itu tercipta tidak dengan sendirinya. Keadilan bisa tercipta dengan adanya sebuah kesepakatan bersama.” (hlm 249).
Sebuah novel yang layak dibaca oleh kaum perempuan, agar mengerti makna ikhlas dan lebih banyak memandang arti sebuah pernikahan. Namun, tentu saja kaum lelaki pun dianjurkan untuk membacanya.
Judul buku : Antara Ibuku & Ibuku
Penulis : Desni Intan Suri
Penerbit : Salsabila
Cetakan : I, Oktober 2011
Tebal : 284 hlm