REPUBLIKA.CO.ID, Di kalangan para pecinta sastra tasawuf, nama Jalaluddin Ar-Rumi tidak asing lagi. Karya-karyanya tidak hanya diminati oleh masyarkat Muslim, tetapi juga masyarakat Barat.
Karenanya tak mengherankan jika karya sang penyair sufi dari Persia (Iran) yang bernama lengkap Jalaluddin Muhammad bin Muhammad Al-Balkhi Al-Qunuwi ini berpengaruh besar terhadap perkembangan ajaran tasawuf sesudahnya.
Rumi dilahirkan di Kota Balkh, Afghanistan, pada 30 September 1207 M/604 H dan wafat di Kota Konya, Turki, pada 17 Desember 1273 M/672 H. Sejak kecil, Rumi dan orang tuanya terbiasa hidup berpindah-pindah dari satu tempat ke tempat lain.
Keluarganya pernah tinggal di Nisabur (Iran timur laut), Baghdad, Makkah, Malatya (Turki), Laranda (Iran tenggara), dan Konya. Meski hidup berpindah-pindah tempat, namun sebagian besar hidup Rumi dihabiskan di Konya, yang dahulu dikenal sebagai daerah Rum (Roma).
Ia dikenal karena kedalaman ilmu yang dimilikinya serta kemampuannya dalam mengungkapkan perasaannya dalam bentuk puisi yang sangat indah dan memiliki makna mistis yang sangat dalam.
Ia memilih puisi sebagai salah satu medium untuk mengajarkan tentang cinta sejati (Tuhan). Lirik-lirik puisinya banyak mengedepankan perasaan cinta yang dalam kepada Tuhan. Makanya tak mengherankan jika ia mengungguli banyak penyair sufi, baik sebelum maupun sesudahnya.
Karya-karya puisi Rumi juga mengandung filsafat dan gambaran tentang inti tasawuf yang dianutnya. Tasawufnya didasarkan pada paham wahdah al-wujud (penyatuan wujud). Bagi Rumi, Tuhan adalah Wujud Yang Meliputi.
Keyakinan ini tidak selalu merupakan keyakinan terhadap kesatuan wujud yang menyatakan bahwa segala seuatu itu adalah Allah atau bahwa Allah adalah segala sesuatu. Kesatuan hamba dengan Tuhan, dalam tasawuf Rumi, dipatrikan oleh rasa cinta yang murni.