Ahad 18 Mar 2012 04:30 WIB

Tradisi Musik dalam Islam

Rep: feri kisihandi / Red: M Irwan Ariefyanto
musik dalam tradisi islam
Foto: worldhistory
musik dalam tradisi islam

REPUBLIKA.CO.ID, Sejak dulu, masyarakat Arab menghargai kemampuan bahasa seseorang, karena kemampuan itu akan menunjukkan kualitas bicara orang tersebut. Penghargaan yang tinggi pada kemampuan inilah yang kemudian menyebabkan berkembangnya seni dan literatur di dunia Arab. Jadi, sebelum Islam, puisi dan musik memang telah berkembang sejak lama di dalam tradisi Arab.

Terbukti pada masa pra Islam, orang-orang Arab kerap menghabiskan waktu untuk mendengarkan puisi dan musik. Keduanya, puisi dan musik, memang sangat berhubungan. Komposisi puisi tak akan berjalan dengan baik tanpa pola musikal dalam setiap baitnya. Sedangkan musik atau lagu merupakan bentuk bebas dari puisi. Musik pun kemudian berkembang pula pada masa Islam, yang tentunya disesuaikan dengan aturan Islam.

Dalam catatan sejarah, khususnya, Kitab Al-Aghani yang ditulis sekitar abad kesepuluh, oleh Al-Isfahani (897-967), dinyatakan bahwa selama penyebaran Islam di wilayah Arabia, Persia, Turki, dan India musik berkembang pesat. Kemudian terbawa sampai masa-masa awal kekhalifahan Islam dan mencapai puncaknya pada masa kekhalifahan Abbasiyah.

Selama tahun-tahun pertama kekhalifahan Muslim, telah bermunculan musisi-musisi Islam ternama, di antaranya adalah Sa'ib Khathir (683), Tuwais (710), dan Ibn Mijjah (705-714). Kaum Muslim juga menerjemahkan sejumlah karya musik dari musisi Yunani, khususnya, pada saat masa kekhalifahan Al-Ma'mun yang merupakan bagian dari proyek Bait Al-Hikma. Proyek ini merupakan upaya untuk menerjemahkan karya-karya ilmuwan luar, khususnya Yunani.

Penerjemahaman itu dilakukan atas karya-karya Aristoxenos, Aristoteles, Euclid, Ptolemy, dan Nikomachos. Lalu karya musik tersebut diperbaharui dan disesuaikan dengan aturan Islam agar tak bersifat sekuler dan menyerupai praktik-praktik dalam penyembahan berhala. Perkembangan yang terjadi pada masa Abbasiyah juga merupakan warisan pemikiran dari cendekiawan-cendekiawan Muslim terdahulu.

Sebelum masa kekhalifahan Abbasiyah, musik dianggap sebagai cabang dari filsafat dan matematika. Tak heran jika kemudian Al Kindi, filosfof dan ahli matematika ternama, memiliki pengatahuan yang luas pula tentang musik. Makanya ia dianggap sebagai orang pertama yang meletakkan dasar teori musik. Ia membicarakan tentang konotasi kosmologikal musik.

Al Kindi juga dikenal sebagai orang yang pertama kali merealisasikan apa yang kemudian disebut sebagai terapi musik. Ini terbukti dengan upaya Al Kindi menggunakan terapi musik untuk menyembuhkan penyakit. Dalam bidang musik, ia meninggalkan 15 karyanya. Namun dari ke-15 karya itu, hanya 5 karyanya tentang musik yang masih ada. Kata 'musik' -- diambil dari kata musiq -- juga pertama kali dikenalkan olehnya dengan menjadikannya judul salah satu kitabnya.

Apa yang dilakukan oleh Al Kindi, kemudian diikuti pula oleh penerusnya, yaitu Al Farabi (870-950). Ia yang hidup di istana Saif al-Dawla Al- Hamdani di Aleppo, juga dikenal sebagai orang yang mencintai puisi dan musik yang membuatnya mengembangkan kemampuan musikal dan meletakkan dasar-dasar teori musik.

Definisinya tentang kekuatan musik menunjukkan kedalaman pemahamannya tentang musik. Ia menyatakan bahwa suara binatang mengekspresikan emosi mereka baik dalam kegembiraan maupun kesedihan. Sedangkan suara manusia mengungkapkan perasaan yang lebih beragam. Dengan suara yang mengekspresikan keberagaman itulah membuat orang lain merasa kasihan maupun simpati.

Tak heran jika kemudian Al Farabi mampu membuat orang tertawa, menangis, atau tertidur ketika ia memainkan musik. Ia pun ditengarai sebagai penemu alat musik rebab dan qanun. Seperti pendahulunya, Al-Farabi juga menulis lima buku, salah satu karyanya yang berjudul Kitabu al-Musiqa to al-Kabir merupakan karya fenomenal tentang teori musik dalam Islam.

Dalam bukunya ini, ia memperkenalkan berbagai sistem pitch. Pengaruh karya Al Farabi berlangssung hingga abad keenam belas. Kitab Al-Musiqi karyanya kemudian diterjemahkan oleh Ibn Aqnin (1160-1226) ke dalam bahasa Ibrani sedangkan terjemahan dalam bahasa Latin diberi judul De Scientiis dan De Ortu Scientiarum.

Selain kedua filosof yang juga ahli musik di atas, kita pun tak dapat mengabaikan keberadaan Ibn Sina, sang dokter, yang juga menelurkan karya yang memiliki banyak bagian yang menjelaskan tentang musik di antaranya adalah al-Shifi dan al-Najat. Ada pula kelompok kajian yang disebut dengan Ikhwan Al-Safaa', dengan pendekatan mistikal dan sufistiknya mereka telah membawa musik ke dalam dimensinya yang baru.

Mereka menjadikan musik sebagai media kontemplasi yang membantu baik tubuh maupun jiwa agar selalu mengingat akan eksistensi dan kebesaran Allah. Pandangan ini lebih lanjut dikembangkan oleh Abu Hamid Al-Ghazali yang menyatakan bahwa musik dapat membantu seseorang meningkatkan perasaan religiusnya dan mengalami pengalaman mistik. Ia menerangkan hal ihwal musik di dalam karya-karyanya.

Di antaranya dalam buku Ihya Ulum Al-Din dan Kitabul Adab al-Sami al-Uae'dh, yang menjelaskan tentang penggunaan musik dan lagu dalam kehidupan spiritual. Ada pula sufi terkenal bernama Jalaludin Rumi yang menyatakan bahwa musik merupakan sarana untuk mencapai penyatuan mistik dengan Tuhan. Ia bahkan memadukan musik dengan tari untuk mencapai pengalaman spiritual.

 

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement