Jumat 09 Mar 2012 06:38 WIB

Industri Mimpi

Dzikir (ilustrasi)
Foto: blog.science.gc.ca
Dzikir (ilustrasi)

REPUBLIKA.CO.ID,  Suatu hari, saya  mengunjungi salah satu hotel terkenal dan besar di Bandung. Saya agak kaget karena banyak sekali anak-anak muda yang berkumpul, hampir ratusan jumlahnya. Ada yang berbaris ada juga tersebar seakan-akan menunggu sesuatu. Saya pikir pasti ada konser grup band atau semacamnya, tapi yang agak aneh karena waktunya kok pagi hari.

Setelah melihat spanduk besar yang terpampang barulah saya “ngeh” bahwa ternyata ratusan bahkan konon ribuan remaja akan datang ke tempat itu untuk ikut pendaftaran, kita sebut saja dengan sebutan “cara cepat jadi artis atau idola”, yang diselenggarakan oleh salah satu stasiun TV nasional.

Mmmmhhh.. untuk urusan mimpi, bukan cuma milik remaja saja. Semua punya mimpi. Semua ingin terpuaskan mimpinya. Seperti wanita-wanita yang ingin kulitnya menjadi putih, susut perut, hingga suntik botox serta produk-produk kosmetik lainnya. Para lelaki yang selalu mencari cara cepat untuk sukses dalam artian punya kedudukan dan harta.

Karena itu banyak produk-produk pemuas mimpi sementara. Seakan-akan mimpi yang jauh itu kemudian hadir dekat sekali bahkan berada dalam saku bajunya, dan mereka tinggal merogohnya saja. Sekejab tetapi seakan-akan mujarab. Seperti obat yang tidak mengobati. Antara ada dan tiada, hampa namun terasa. “in between”, nisbi bagaikan candu, dosisnya pun semakin lama semakin tinggi. Inilah yang kemudian saya sebut dengan “industri mimpi”.

 

Mengejar mimpi adalah sebuah tujuan. Tujuan hidup dan tujuan kehidupan. Namun mimpi yang seperti apa? Ketika agama menggulirkan kosa kata akhirat yang menjadi tujuan. Maka berpecahlah manusia antara yang mengejar tujuan dunia dan tujuan akhirat, sekaligus tujuan keduanya.

Kata-kata akhirat sebagai final destination atau tujuan akhir menjadi absurd, seakan-akan kata itu perlu dibuang jauh-jauh dari kosa kata yang ada. Karena sifatnya mengganggu, jika disebutkan menimbulkan ketidaknyamanan, atau sebaiknya dikunci dalam kamus besar saja. Memang kehidupan akhirat masih samar (khafiy) dalam nalar dan pandangan. Tapi, kita tak berarti harus menafikan dan mengingkarinya.

Alquran telah menjelaskan, ”Dan tiadalah kehidupan dunia ini melainkan senda gurau dan main-main. Dan sesungguhnya akhirat itulah yang sebenar-benarnya kehidupan. Kalau mereka mengetahui.” (QS. Al Ankabut, 29 : 64])

Industri mimpi di atas bukanlah sebagai bekal kehidupan akhirat. Hanya amal dan ketakwaan yang akan mengiringi seseorang menuju kehidupan akhirat yang abadi. Seperti dijelaskan dalam ayat: “Berbekallah, dan sesungguhnya sebaik-baik bekal adalah takwa dan bertakwalah kepada Ku hai orang-orang yang berakal.” (QS. Al Baqoroh, 2 : 197)

Rasullullah SAW pun menegaskan, “Ada tiga hal yang mengikuti kepergian jenazah, yaitu keluarga, harta dan amalnya. Dua diantaranya akan kembali, hanya satu yang tetap menyertainya. Keluarga dan hartanya akan kembali, sedangkan yang tetap adalah amalnya.” (HR Bukhari-Muslim)

Karena itu mimpi besar itu mestilah surga. Rasulullah bersabda, ''Jika engkau memohon kepada Allah SWT, memohonlah surga Firdaus karena ia adalah surga yang paling tinggi, atapnya adalah arsy Allah yang Maha Rahman.”

Dalam hadis lain Rasulullah SAW menegaskan, ''Barang siapa yang harapannya, tujuan akhirat. Maka dunia datang padanya, sedangkan ia tidak membutuhkan lagi.”

Jerat “industri mimpi” sekarang ini memang mengajak secara halus seakan-akan mengelus, tak terasa kita sudah ada di dalam jeratannya. Batas antara maksiat dan bukan pun sangat tipis seakan-akan yang haq dan yang bathil tak lagi ada diufuk barat dan timur.

Sangat aduhai, sulit untuk menahan gairahnya. Ilustrasinya seperti berupaya tak menelan namun terasa diujung lidah, tak mau merasa namun tercium harumnya, menutup hidung terjangkau oleh tangan, melipat tangan terlihat mata, menutup mata namun tetap hadir terasa.

Itulah godaan. Karenanya perlulah kiranya kita bersimpuh berdoa, “Ya Allah, tampakkanlah kepadaku kebenaran sebagai kebenaran dan kuatkanlah aku untuk mengikutinya serta tampakkanlah kepadaku kesalahan sebagai kesalahan dan kuatkan pula untuk menyingkirkannya”. (HR. Imam Ahmad)

Aamiin Ya Rabbal Al Amin.

Tidaklah lebih baik dari yang berbicara ataupun yang mendengarkan, karena yang lebih baik disisi Allah adalah yang mengamalkannya.

Penulis: Ustaz Erick Yusuf pemrakarsa Training iHAQi – Integrated Human Quotient

Email: [email protected]

twitter: @erickyusuf

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement