Selasa 06 Mar 2012 09:03 WIB

Kimia Kebahagiaan Al-Ghazali: Tentang Musik dan Tari (3)

Tarian Sufi (ilustrasi)
Foto: erhanozgun.com
Tarian Sufi (ilustrasi)

REPUBLIKA.CO.ID, Meskipun demikian, para calon sufi dilarang ikut ambil bagian dalam tarian mistik ini tanpa bantuan pir (syekh atau guru ruhani)nya.

Diriwayatkan bahwa Syekh Abul-Qasim Jirjani—ketika salah seorang muridnya meminta izin untuk ambil bagian dalam tarian semacam itu—berkata, "Jalani puasa yang ketat selama tiga hari, kemudian suruh mereka memasak makanan-makanan yang menggiurkan. Jika kemudian engkau masih lebih menyukai tarian itu, engkau boleh ikut."

Bagaimanapun juga, seorang murid yang hatinya belum seluruhnya tersucikan dari nafsu-nafsu duniawi—meskipun mungkin telah mendapat penglihatan sepintas akan jalur tasawuf—mesti dilarang oleh syekhnya untuk ambil bagian dalam tarian-tarian semacam itu, karena hal itu hanya akan lebih banyak mendatangkan mudharat daripada mashlahatnya.

Orang-orang yang menolak hakikat ekstase (kegairahan) dan pengalaman-pengalaman ruhani para sufi, sebenarnya hanya mengakui kesempitan pikiran dan kedangkalan wawasan mereka saja.

Meskipun demikian, mereka haruslah dimaafkan, karena memercayai hakikat suatu keadaan yang belum dialami secara pribadi adalah sama sulitnya dengan memahami kenikmatan menatap rumput hijau dan air mengalir bagi seorang buta, atau bagi seorang anak untuk mengerti kenikmatan melaksanakan pemerintahan.

Karenanya seorang bijak, meskipun ia sendiri mungkin tidak mempunyai pengalaman tentang keadaan-keadaan tersebut, tak akan menyangkal hakikatnya. Sebab, kesalahan apa lagi yang lebih besar daripada orang yang menyangkal hakikat sesuatu hanya karena ia sendiri belum mengalaminya! Mengenai orang-orang ini, tertulis dalam Alqu'an, "Orang-orang yang tidak mendapatkan petunjuk akan berkata, 'Ini adalah kemunafikan yang nyata'."

Sedang mengenai puisi erotis yang dibaca pada pertemuan-pertemuan para sufi—yang banyak orang merasa keberatan terhadapnya—mesti kita ingat bahwa jika dalam puisi seperti ini disebut-sebut tentang pemisahan dari atau persekutuan dengan yang dicintai, maka para sufi—yang amat cinta pada Allah—menggunakan ungkapan semacam itu untuk menjelaskan pemisahan dan persekutuan dengan Dia.

Demikian pula, "jalan-jalan buntu yang gelap" dipakai untuk menjelaskan kegelapan kekafiran; "kecerahan wajah" untuk cahaya keimanan; dan "mabuk" sebagai ekstase (kegairanan) sang sufi.

Ambil sebagai misal, bait dari sebuah puisi berikut ini:

Mungkin sudah kuatur anggur

beribu takaran

Tapi, sampai 'kau habis mereguknya

tiada kegembiraan kaurasakan

Dengan itu penulisnya bermaksud untuk mengatakan bahwa kenikmatan agama yang sejati takkan bisa diraih lewat perintah resmi, tapi dengan rasa tertarik dan keinginan. Seseorang boleh jadi telah banyak berbicara dan menulis tentang cinta, keimanan, ketakwaan dan sebagainya, tapi sebelum ia sendiri memiliki sifat-sifat ini, semuanya itu tak bermanfaat baginya.

Jadi, orang-orang yang mencari-cari kesalahan para sufi, karena sufi-sufi tersebut sangat terpengaruh—bahkan sampai mencapai ekstase—oleh bait-bait seperti itu, hanyalah orang-orang dangkal dan tak toleran. Unta sekalipun kadang-kadang terpengaruh oleh lagu-lagu Arab yang dinyanyikan penunggangnya sehingga ia akan berlari kencang, memikul beban berat, sampai akhirnya tersungkur kelelahan.

sumber : Kimyatusy Sya'adah (The Alchemy of Happiness) Al-Ghazali, terjemahan Haidar Bagir
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement