REPUBLIKA.CO.ID, "Bagi saya mati itu tidak penting. Kematian itu bisa terjadi di atas ranjang atau di medan pertempuran, dalam keadaan ditawan atau bebas. Saya pasti akan bertemu dengan Tuhanku."
Itulah kata-kata terakhir yang diucapkan Abdul Qadir Audah sesaat sebelum menjalani hukuman mati di tiang gantungan di tahun 1954.
Mungkin banyak yang tidak mengenal sosok sang syuhada. Di tanah kelahirannya, Mesir, pemilik nama lengkap Abdul Qadir Ali Audah ini dikenal luas sebagai seorang ahli perundang-undangan dan hukum Islam.
Semasa hidupnya, dia pernah menduduki sejumlah jabatan penting di kejaksaan. Ia juga dikenal karena kiprahnya di organisasi gerakan Islam yang didirikan oleh Hasan Al-Banna, Ikhwanul Muslimin. Posisi terakhir yang dipegangnya di organisasi ini adalah Wakil Ketua Pimpinan Ikhwanul Muslimin.
Abdul Qadir menamatkan pendidikannya di Kuliyatul Huquq (Fakultas Hukum) pada tahun 1930 dan berhasil meraih ranking pertama. Ia menjadi satu-satunya lulusan fakultas tersebut yang langsung diangkat sebagai anggota parlemen dan merangkap sebagai hakim di pemerintahan Mesir. Namun, perhatiannya kepada bidang hukum lebih besar.
Di parlemen, ia bertemu dengan Hasan Al-Banna yang ketika itu juga menjadi anggota parlemen dari Provinsi Ismailiyah. Pertemuan dengan Al-Banna inilah yang di kemudian hari mendorongnya untuk bergabung dengan gerakan Ikhwanul Muslimin. Bersama dengan para pendiri Ikhwanul Muslimin, Abdul Qadir memperjuangkan tegaknya negara Islam di Mesir.
Tahun 1951, Abdul Qadir Audah diminta oleh warga Ikhwanul Muslimin untuk memusatkan perhatiannya kepada dakwah Islam dan membantu Hasan Al-Banna dalam pergerakan Ikhwan. Permintaan tersebut disetujuinya. Karena kesibukannya di Ikhwanul Muslimin, akhirnya ia memutuskan untuk mengundurkan diri dari jabatannya di kejaksaan. Kemudian dia mulai memfokuskan diri pada kegiatan dakwah bersama Ikhwanul Muslimin dengan mendirikan sebuah perpustakaan yang berorientasi pada bidang hukum.
Hukuman mati
Dalam buku "Tokoh-Tokoh Besar Islam Sepanjang Sejarah" karya Syekh Muhammad Sa'id Mursi, disebutkan bahwa ketika pemerintah Mesir ingin membubarkan Ikhwanul Muslimin pada 1954, Abdul Qadir Audah menyarankan kepada pemimpin Mesir ketika itu, Gamal Abdel Nasser, untuk tidak membubarkannya.