REPUBLIKA.CO.ID, Piagam Madinah
Munawir Sjadzali dalam bukunya Islam dan Tata Negara, mengungkapkan, belum genap dua tahun dari kedatangan Nabi SAW di kota Madinah, Nabi SAW memaklumkan piagam yang mengatur kehidupan dan hubungan antara komunitas yang majemuk itu. Piagam tersebut kemudian dikenal dengan Piagam Madinah.
Dr Muhammad Hamidullah, menyebutnya al-Qanun li ad-Daulah al-Baladiyah bi al-Madinah (Undang-Undang Dasar Negara Kota Madinah). Sedangkan, orientalis dan sejarawan utama tentang Islam di dunia Barat, William Montgomery Watt, menyebut Piagam Madinah itu The Constitution of Medina. Watt dan Hamidullah membagi naskah piagam itu menjadi 47 pasal. Bahkan, Watt menambahkan bahwa dokumen ini diakui autentik secara umum.
Adanya Piagam Madinah atau Konstitusi Madinah merupakan salah satu bukti bahwa pada masa Rasulullah SAW telah terbentuk negara yang merupakan negara pertama dalam sejarah ketatatnegaraan umat Islam.
Muhammad Hamidullah dalam bukunya Majmu'ah al-Wasa'iq al-Siyasiyyah li al-'Ahd an-Nabawi wa al-Khilafah al-Rasyidah, memaparkan, negara Madinah yang awalnya berbentuk kota, makin lama makin bertambah luas. Menurut dia, wilayah Madinah dikuasai dan dipimpin secara efektif oleh Muhammad SAW selaku kepala negara dan Rasul atau utusan Allah SWT untuk menanamkan dan menyebarluaskan agama Islam.
Dalam Ensiklopedia Britannica, disebutkan unsur esensial pembentukan sebuah negara ada tiga, yaitu wilayah atau teritorial, rakyat, dan pemerintah. Ketiga unsur ini telah terpenuhi pada masa hidup Nabi Muhammad SAW di Madinah dan bahkan sudah dilengkapi dengan konstitusi, yaitu Piagam atau Konstitusi Madinah.
Munawir menambahkan, banyak pemimpin dan pakar ilmu politik Islam menganggap Piagam Madinah adalah konstitusi atau undang-undang dasar bagi negara Islam yang pertama, yang didirikan Nabi SAW di kota Madinah. Piagam ini juga dianggap sebagai konstitusi negara tertulis pertama di dunia.
Piagam Madinah adalah konstitusi negara yang berasaskan Islam dan disusun sesuai dengan syariat Islam. Piagam ini merupakan undang-undang untuk pengaturan sistem politik dan sosial masyarakat Islam dan hubungannya dengan umat yang lain. Karenanya tak mengherankan jika masyarakat majemuk Madinah pada masa itu dapat hidup berdampingan dengan damai.
Sebagai kepala negara, Nabi SAW amat gemar berkonsultasi atau musyawarah dengan para pengikutnya dalam kaitannya dengan pengelolaan urusan negara sehari-hari. Tradisi ini selepas wafatnya Nabi SAW terus dilestarikan oleh para Khulafa ar-Rasyidin.
Tradisi musyawarah ini juga diterapkan pada saat memilih pemimpin umat atau kepala negara sepeninggal Nabi SAW. Munawir Sjadzali menyatakan, dengan wafatnya Ali bin Abi Thalib, maka berakhirlah satu era pemerintahan di lingkungan umat Islam yang menjalankan tradisi pengisian jabatan kepala negara dilakukan melalui musyawarah.