REPUBLIKA.CO.ID, Satu femonena menarik yang menggambarkan tradisi keilmuan yang berlaku di masa salaf adalah budaya bertanya kepada pakar, istifta.
Mereka yang menemukan berbagai persoalan merujuk dan mencari keterangan kepada para ahli. Ini didasari oleh sikap kehati-hatian dan rasa percaya terhadap sosok yang dipandang memiliki penguasaan lebih.
Surat An-Nahl ayat 43 menjadi dasar pemikiran pentingnya mengembalikan permasalahan pada ahli di bidangnya. Tak terkecuali dalam masalah keagamaan. Allah SWT berfirman, “Bertanyalah kepada ahli ilmu jika kalian tidak mengetahui.”
Tugas memberikan fatwa itu diemban pula oleh seorang pakar dan penghafal hadis, Al-Hafidz Ibnu Hajar Al-Asqalani (852 H). Ulama terkemuka kelahiran Mesir, 13 Ramadhan 773 itu memberikan fatwa-fatwa kepada para murid dan masyarakat pada zaman itu.
Fatwa tersebut ada yang disampaikan secara langsung dan ada pula yang ditulis tangan dan dikirim dari berbagai wilayah. Pertanyaan-pertanyaan yang disampaikan para murid dan masyarakat kepada Ibnu Hajar dijawab sendiri dengan goresan penanya. Di antaranya terdokumentasikan dan tersebar di berbagai karya yang ditulis oleh ulama, mulai dari fikih, hadis, hingga biografi.
Salah satu kitab yang mengumpulkan koleksi ragam jawaban Ibnu Hajar atas pertanyaan masyarakat dan muridnya itu adalah kitab Al-Ajwibat Ibnu Hajar Al-Asqalani. Kitab itu berisikan jawaban Ibnu Hajar atas berbagai persoalan yang dipertanyakan oleh sejumlah muridnya, antara lain Imam As-Sakhawi.
Pertanyaan tersebut diajukan oleh murid-murid melalui tulisan tangan yang dikirim dari berbagai wilayah. Permintaan fatwa kepada Ibnu Hajar itu ada yang datang dari Makkah dan Baitul Maqdis. Sementara Ibnu Hajar kala itu berdomisili di Mesir. Berbagai pertanyaan itu dikumpulkan per kategori dan dikirimkan secara kolektif.
Ada tiga pengirim pertanyaan utama dari kumpulan fatwa Ibnu Hajar itu. Ketiganya adalah Syamsuddin bin Muhammad bin Al-Khidir Al-Mishri, Umar bin Fahad Al-Hasyimi Al-Makki, serta Zainuddin Ridwan bin muhamad bin Yusuf Al-Aqabi. Dalam kitab itu, kita juga dapat menyaksikan sisi kerendahan hati seorang Ibnu Hajar.