Selasa 14 Feb 2012 12:03 WIB

Fikih Muslimah: Dokter Perempuan Obati Lawan Jenis, Bolehkah? (2-habis)

Rep: Nashih Nashrullah/ Red: Chairul Akhmad
Dokter perempuan memeriksa pasien laki-laki (ilustrasi).
Foto: http://www.wpclipart.com
Dokter perempuan memeriksa pasien laki-laki (ilustrasi).

REPUBLIKA.CO.ID, Ketentuan ini juga berlaku sebaliknya, yaitu dokter pria mengobati pasien wanita. Namun, hukum tersebut tidak bersifat mutlak. Artinya, diperbolehkan dengan catatan dan syarat yang harus dipenuhi.

Menurut Syekh Kamil, dokter pria boleh menangani pengobatan lawan jenis jika dalam keadaan darurat dan tidak ada dokter wanita yang mampu mengobatinya. Demikian halnya dengan hukum melihat aurat pasien lawan jenis, baik bagi dokter pria maupun wanita. Jika dalam kondisi terpaksa, boleh dilakukan selama untuk kepentingan medis.

Persoalan ini juga telah dibahas dalam kajian hukum Islam klasik di kalangan ulama mazhab. Mereka sepakat hukum pengobatan lawan jenis diperbolehkan, begitu pula hukum menyentuh salah satu anggota tubuh, termasuk melihat atau memegang kemaluan pasien.

Menurut ulama Hanafi, melihat kemaluan pasien lawan jenis diperbolehkan dalam kondisi darurat, seperti dikhawatirkan kondisi pasien memburuk atau munculnya penyakit yang di luar prediksi. Pada saat yang sama, tidak terdapat dokter dari golongan yang sama, baik perempuan maupun laki-laki.

Secara umum, para ulama memberlakukan beberapa syarat pengobatan oleh lawan jenis. Syarat pertama ialah tidak didapati dokter dari golongan yang sama, baik pria maupun wanita, atau memang ada dokter hanya saja tidak memiliki kompetensi menangani penyakit tersebut.

Syarat kedua, dikhawatirkan penyakit akan lebih parah ataupun terjadi hal-hal yang tidak diinginkan bila tidak segera ditangani sekalipun oleh lawan jenis, sebagaimana syarat yang berlaku di mazhab Hanafi.

Syarat ketiga, hendaknya dokter yang bersangkutan seorang Muslim selama masih terdapat dokter Muslim yang mumpuni. Menurut mazhab Syafi’i, bila keahlian dan kemampuan dokter non-Muslim lebih baik dibandingkan dokter Muslim, boleh hukumnya berobat ke dokter tersebut. Syarat yang keempat ialah terbebas dari potensi munculnya fitnah.

Syarat ini hanya dikemukakan oleh sebagian ulama mazhab Syafi’i. Sedangkan, menurut mazhab lain, Maliki misalnya, syarat tersebut tidak berlaku. Lantaran kondisi terpaksa, baik terbebas dari fitnah maupun tidak, tetap diperbolehkan berobat pada lawan jenis. Syarat yang kelima, saat pemeriksaan atau pengobatan, hendaknya pasien perempuan ditemani oleh muhrimnya.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement