Selasa 14 Feb 2012 11:59 WIB

Fikih Muslimah: Dokter Perempuan Obati Lawan Jenis, Bolehkah? (1)

Rep: Nashih Nashrullah/ Red: Chairul Akhmad
Dokter perempuan memeriksa pasien laki-laki (ilustrasi).
Foto: http://www.wpclipart.com
Dokter perempuan memeriksa pasien laki-laki (ilustrasi).

REPUBLIKA.CO.ID, Keberadaan Assyifa’ Laila binti Abdullah Al-Quraisyiah, istri Abu Hatsmah bin Hudzaifah bin Ghanim, bagi istri-istri Rasulullah, laksana bulan purnama. Sosok perempuan yang mengikrarkan keislamannya sebelum peristiwa hijrah tersebut memiliki peran penting dalam peperangan yang diikuti oleh Rasulullah.

Figur yang terkenal cerdas dan menguasai baca tulis itu didaulat sebagai dokter Muslimah. Tugas yang diemban pun cukup berat, mengobati para sahabat yang terluka selama peperangan berkecamuk. Hingga masa Khalifah Umar bin Khattab, ia tetap dipercaya untuk mengobati pasien, terutama menangani penyakit kulit.

Selain Assyifa, Ka’biyyah binti Sa’ad Aslamiyyah juga tersohor dengan sepak terjangnya di dunia pengobatan. Perempuan yang akrab dengan panggilan Rafidah Al-Aslamiyyah tersebut dipercaya oleh Rasulullah untuk mengobati para sahabat yang terluka di perang. Keahliannya terkenal dalam menangani luka.

Bahkan sebuah riwayat menyebutkan, Rasulullah secara khusus mendirikan tenda di Masjid Nabawi yang difungsikan layaknya rumah sakit untuk menangani pasien yang terluka akibat perang. Oleh sebagian sejarawan, tenda sederhana Rafidah itu disebut-sebut sebagai rumah sakit pertama dengan kesederhanaan dan keterbatasannya.

Berobat adalah kebutuhan asasi yang tak bisa dihindari oleh siapa pun saat penyakit mendera. Dalam ikhtiar mencari kesembuhan, adakalanya dokter yang menangani pasien adalah lawan jenis. Bisa jadi pasien adalah laki-laki, sedangkan dokternya perempuan, atau kebalikannya—dokternya seorang pria, sedangkan orang yang hendak diobati perempuan.

Dalam dunia kedokteran masa kini, kondisi tersebut sulit dihindari. Lantas bagaimana Islam menyikapinya? Dalam bukunya, Al-Jami’ fi Fiqh an-Nisa’, Syekh Kamil Muhammad Uwaidah mengatakan, dokter perempuan diperbolehkan mengobati pasien pria. Kedua kisah di atas—Assyifa dan Rafidah—menurutnya, merupakan indikasi dan dalil kuat yang menegaskan dokter perempuan boleh menangani pasien laki-laki.

Fakta itu dipertegas oleh sebuah atsar yang diriwayatkan oleh Rubai’ binti Mu’awwidz bin ‘Afra. Ia mengisahkan bahwasannya sekelompok perempuan pada masa Rasulullah ikut berperang. Mereka bertugas memberikan minuman kepada pasukan, mengurus, dan membawa tentara-tentara yang terbunuh dan juga yang terluka kembali ke Kota Madinah.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement