Rabu 08 Feb 2012 17:22 WIB

Fikih Muslimah: Hakim Perempuan, Bolehkah? (1)

Rep: Nashih Nashrullah/ Red: Chairul Akhmad
Palu hakim (ilustrasi).
Foto: Blogspot.com
Palu hakim (ilustrasi).

REPUBLIKA.CO.ID, Pada dasarnya, Allah memandang sama antara laki-laki dan perempuan. Hanya satu yang membedakan, yaitu derajat ketakwaan individu.

Hal ini sebagaimana dipertegas dalam ayat, “Sesungguhnya orang yang paling mulia di antara kamu di sisi Allah ialah orang yang paling takwa di antara kamu. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Mengenal.” (QS. Al-Hujuraat: 13).

Tetapi, terdapat beberapa persoalan yang menjadi perhatian para ulama terkait dengan peran dan kiprah perempuan di ranah publik. Termasuk persoalan pelik yang diperdebatkan dalam kajian fikih Islam ialah keterlibatan perempuan di wilayah umum, yaitu memegang jabatan atau posisi sebagai hakim—yang memutuskan kasus-kasus persengketaan dalam interaksi seharihari.

Dalam sejarah Islam, sejumlah sahabat perempuan dikenal pernah memerankan fungsi sebagai rujukan dalam hukum, layaknya seorang hakim. Di antaranya ialah Aisyah RA, Ummu Salamah, Shafiyah, dan juga Ummu Habibah.

Menurut mayoritas ulama mazhab— Syafi’i, Hanbali, dan Maliki—seorang perempuan dinyatakan tak boleh memegang jabatan sebagai hakim. Ketentuan ini berlaku di semua jenis kasus. Baik yang berkenaan dengan sengketa harta, qishash ataupun had, atau kasus-kasus lainnya.

Bila mereka tetap diberikan kepercayaan sebagai hakim, maka pihak pemberi wewenang kepada yang bersangkutan dihukumi berdosa. Ketetapan yang dihasilkan oleh hakim perempuan itu pun dianggap batal walaupun mengandung unsur kebenaran.

Sedangkan, dalam pandangan mazhab Hanafi, hukumnya tak jauh beda dengan pendapat mayoritas. Hanya saja, para ulama bermazhab Hanafi sedikit memberikan keleluasaan. Selama dianggap memenuhi syarat tertentu, maka mereka diperbolehkan berposisi sebagai seorang hakim.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement