Rabu 08 Feb 2012 11:00 WIB

Nur Rahman Hakim: Hidayah Itu Hadir Lewat Mimpi ( Bag 3-habis)

Rep: Shally Pristine/ Red: Heri Ruslan
Nur Rahman Hakim
Foto: yudha ps
Nur Rahman Hakim

REPUBLIKA.CO.ID, Kepulangan Nur Rahman Hakim ke Los Palos pada 2002 berbeda dengan mudik sebelumnya. Untuk pertama kalinya, dia harus mengurus visa untuk masuk ke tanah kelahiran sendiri. Disintegrasi Timor Timur dari Indonesia menorehkan kesan mendalam bagi komunitas Muslim di Bumi Lorosae yang porsinya sekitar sepuluh persen dari total penduduk.

 

Setelah berdiri sendiri sebagai Timor Leste, penyelenggaraan Shalat Jumat jadi masalah besar bagi Muslim Los Palos yang sedikitnya berjumlah 33 kepala keluarga. Karena nihil dai yang bermukim di sana, tak ada yang mampu menjadi khatib. Yang didapuk menjadi imam pun, membaca Alfatihah dan surat pendek dengan terbata-bata.

 

Padahal menurut Nur, mayoritas pengungsi pro-Indonesia merupakan Muslim. Mereka rela meninggalkan kampung halamannya, bahkan sebagian mereka mau ditransmigrasikan ke berbagai daerah di Indonesia demi komitmen terhadap Pancasila. Bisa dibilang, ada kedekatan emosional yang terbentuk di kalangan Muslim Timor Timur dengan Indonesia.

 

Di mata Muslim Timor Timur, citra saudara sesama Islam hadir lewat sosok tentara yang membantu dan melindungi masyarakat dari kelompok pemberontak. ‘’Lewat merekalah (tentara) masuk Islam ke Timor Timur, jadi ada hubungan batin,’’ kata pria yang leluhurnya berasal dari Desa Luro, sekitar 150 kilometer dari Los Palos.

 

Dalam urusan politik pun, identitas keislaman bisa menjadi asosiasi dengan keberpihakan individu. "Orang pro-Indonesia yang yang non-Muslim, melihat kita yang Muslim sudah yakin kita pro-Indonesia,’’ kata Nur. Secara visual, Muslim di Timor Timur bisa dibedakan lewat atribut seperti kopiah atau sarung maupun bekas wudlu.

 

Menjadi golongan minoritas di Timor Timur, Nur menerangkan, justru menggelorakan semangat beribadah umat Muslim yang tidak dia jumpai di tempat dia bermukim, seperti Sumbawa. Padahal, mayoritas masyarakat di daerah tersebut memeluk Islam. ‘’Di Timor, ghirah kita kuat. Ingin tampilkan agama kita begini,’’ paparnya.

 

Bahkan Nur dan kawan-kawannya ketika masih remaja selalu datang ke masjid setiap hari untuk belajar agama dan shalat berjamaah. Padahal, dari kampungnya ke Masjid Attaqwa yang berjarak tiga kilometer itu harus melalui banyak pekuburan. Dari lahan-lahan sepi itu, bahaya seperti serbuan gerombolan pemberontak kerap mengintai.

 

Kehangatan hubungan antara muslim Timor Timur dengan para tentara, dicontohkan Nur dalam syiar di malam takbiran. Seperti kelaziman di tempat lain, semalam sebelum Idul Fitri maupun Idul Adha, Muslim menggelar takbiran keliling. "Kita takbiran sama tentara, walau cuma 20 orang. Dilihat orang Kristen kan aneh," dia bercerita sambil berseri.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement