Rabu 08 Feb 2012 10:15 WIB

Nur Rahman Hakim: Hidayah Itu Hadir Lewat Mimpi ( Bag-2)

Rep: Shally Pristine/ Red: Heri Ruslan

REPUBLIKA.CO.ID, Imam Attaqwa saat itu, Ustaz Rohim terkesan dengan prestasi pemuda Nur dan menghadiahinya kesempatan menimba ilmu ke luar Timor. Berangkatlah Nur ke Pesantren Al-Ikhlas, Sumbawa dengan menumpang kapal selama dua hari dua malam. Di pondok yang terafiliasi dengan Pesantren Gontor ini, dia memuaskan hasratnya mempelajari agama di lingkungan yang mendukung.

Setelah lulus pada 1999, dia merantau ke ibukota negara untuk melanjutkan pendidikan di program studi Tarbiyah di Universitas Muhammadiyah Jakarta. Di masa kuliahnya inilah situasi politik di Bumi Lorosae memanas. Timor Timur memerdekakan diri, bersalin nama menjadi Timor Leste. Sebagian kerabat Nur mengungsi ke perbatasan.

Komunikasi Nur dengan keluarganya terputus, dukungan keuangan pun tanda tanya. Di tengah ketidak jelasan itu, dia melamar kesempatan belajar Syariah di Universitas Islam Madinah semata untuk mencari sekolah gratis.

 

Tadinya Nur pesimis pintu ilmu ke Tanah Haram akan terbuka baginya. Betapa tidak. Pelamar beasiswa penuh itu jumlahnya ribuan. Ternyata, namanya tertera sebagai penerima beasiswa pada urutan ke-29 dari 30 kursi yang tersedia. Sambil bercerita, dia menyitir ayat-ayat penghujung Surat Luqman, ‘’Tidak ada yang tahu apa yang bakal terjadi.’’

Singkat kata, pada 2002 dia pun berangkat berguru ke Tanah Haram. Selama Nur berada di Madinah, banyak perubahan terjadi. Ayahandanya wafat pada 2007, menyusul ibundanya yang meninggal saat Nur remaja. Tiga adiknya yang memilih keluar dari Timor Leste kini tinggal terpencar karena ikut program transmigrasi, sementara satu lagi bertahan di Los Palos.

Masjid Attaqwa masih berdiri,  namun tak berimam karena Ustaz Rohim kembali ke Kupang pascadisintegrasi. Nur memilih bermukim di Bandung setelah tuntas sarjananya. Dia mengajar Bahasa Arab di Mahad Al-Imarat, selain pernah aktif dalam kepengurusan Yayasan Pembina Masjid Salman ITB.

Sebenarnya, pria yang kini berputra dua dari Wida Fitrotul Hasanah itu ingin kembali ke kampung halaman untuk berdakwah. Apalagi, kondisi  Muslim Los Palos makin morat-marit setelah tak punya dai. Namun, Nur belum berani terjun ke sana seorang diri karena pertimbangan lingkungan yang tidak mendukung tumbuh kembang kedua buah hatinya yang masih balita.

‘’Sesoleh-solehnya orang kalau lingkungan tidak mendukung, susah,’’ tuturnya. Terlebih, kebiasaan masyarakat Timor yang akrab dengan minuman keras, berjudi, dan menyabung ayam sudah berkerak menjadi adat.

 

Dia menuturkan, dia tak sanggup bertahan lama ketika terakhir kali mudik ke Natura sebelum berangkat ke Madinah. Tak genap sebulan, dia segera mengemasi barang dan buru-buru pamit karena khawatir terbawa pergaulan buruk.

Ia memiliki rencana untuk  pulang kampung dan berdakwah di Timor Leste. ‘’Bila suasana sudah tenang dan kondusif.’’ Demikianlah, karena seperti lanjutan penutup Surat Luqman yang tadi dikutipnya, tak seorang pun tahu di bumi mana ajal akan menjemput.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement