Rabu 08 Feb 2012 09:51 WIB

Nur Rahman Hakim: Hidayah Itu Hadir Lewat Mimpi ( Bag-1)

Rep: Shally Pristine/ Red: Heri Ruslan
Nur Rahman Hakim
Foto: yudha ps
Nur Rahman Hakim

REPUBLIKA.CO.ID,  Sosok pria berperawakan sedang itu tampak tengah menekuri mushafnya di koridor utara Masjid Salman, Bandung. Sepintas, lelaki bernama Nur Rahman Hakim (32 tahun) itu tampak seperti jamaah kebanyakan yang sedang mengisi waktu sehabis Ashar dengan mengaji.

Ketika diajak berbicara, lisan sarjana syariah lulusan Madinah, Arab Saudi itu pun fasih melafalkan ayat-ayat Alquran. Namun bila dicermati, ada sedikit tekanan khas orang dari Indonesia bagian timur dalam suaranya tiap kali Nur melafalkan bunyi 'e'.

Kulit yang kecoklatan dan gurat wajah tegas pun menyiratkan bahwa muasalnya dari daerah jauh. ‘’Tadinya nama saya Thomas Consesao,’’ kata pria kelahiran Timor Leste itu. Nama itu dia emban selama belasan tahun, sebelum hijrah menjadi seorang Muslim.

 

Awal proses Nur berhijrah tidak istimewa. Dia pun tidak ingat persis tanggal ketika mengucap syahadat untuk pertama kali. ‘’Masuk Islam waktu SMP, itu 1992 atau 1993," ucapnya sembari mencoba mengenang. Waktu itu, Pemerintah Indonesia tengah menggelar operasi militer di provinsi ke-27 itu.

TNI menginstruksikan agar semua penduduk Timor Timur melakukan registrasi ulang agama. Nur remaja yang suka mencoba hal baru ini mengusulkan kepada ayah, ibu, dan saudara-saudaranya untuk 'mencoba' mendaftarkan diri sebagai penganut Islam.

Usulannya diterima tanpa banyak pertimbangan, walaupun mereka bisa saja kembali mencantumkan agama lama sebagai identitas. Semula, keluarganya memeluk Katholik, namun juga masih kental mempraktikkan animisme setempat.

 

Sebelum operasi militer, Nur menyebut, tidak ada pribumi Muslim di Los Palos, ibukota kabupaten di daerah timur Pulau Timor. Identitas Islam baru diperkenalkan secara luas lewat para tentara yang bertugas di sana. Selain itu, Nur pun mengasosiasikan sosok muslim dengan Soeharto yang fotonya terpampang di ruang kelas.

‘’Muslim itu presiden, jadi hebat kan," katanya sambil terkekeh. Akhirnya, keluarga Consesao ikut dalam barisan ratusan mualaf yang mengucap syahadat dibimbing Ustaz Subhan di Masjid Attaqwa, Los Palos. Sadar pengetahuan agamanya masih cetek, Nur rajin mengaji saban hari ke satu-satunya masjid yang ada di Los Palos itu.

Dia bersemangat melangkahkan kaki ke masjid dari rumahnya di Desa Natura, walau jaraknya terpisah tiga kilometer. Rutinitas ini berlangsung sekitar tiga tahun. Di masa itu, ibadah Nur belum sempurna. Karena belum paham bahwa sembahyang harus lima waktu sehari, dia hanya rutin menunaikan Shalat Maghrib dan Isya.

Membaca Alquran pun tertatih karena belum ada sistem belajar modern seperti Metode Iqra. Walau demikian dia sering menyimak ceramah untuk menambah pengetahuan agama. Pada suatu malam yang gelap pekat, hidayah itu menghampiri Nur. Gambaran nyata kiamat, yang kerap dia dengar dalam ceramah, hadir dalam detail yang terinci di hadapannya.

Waktu itu, dia duduk di kelas III SMP. Dalam mimpi itu, dia menangis ngeri sejadi-jadinya kemudian terbangun. "Saya dapati diri nangis, selimut saya basah." Setelah itu, dia ber-azzam akan belajar Islam dengan sungguh-sungguh.

 

Teknik mengaji dengan sistem Baghdadi yang rumit dia lahap segera. Dalam waktu empat bulan, Nur pun membabat habis hafalan Juz Amma. Dia pun menyabet gelar juara kedua lomba tahfiz se-Los Palos yang diadakan untuk memeriahkan Ramadhan.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement