REPUBLIKA.CO.ID, Pada zaman dahulu, ada seorang raja yang memanggil seorang Darwis dan berkata kepadanya "Jalan para darwis, melalui silih bergantinya para guru sejak zaman lampau hingga kini, telah senantiasa memancarkan cahaya yang menjadi pendorong nilai-nilai yang membuat martabatku tampak tak lebih dari suatu bayangan pudar."
Darwis itu menjawab, "Demikianlah adanya."
"Sekarang," kata Raja itu, "Karena aku sangat berhasrat untuk mengetahui fakta-fakta di masa lalu, dan ingin sekali mendapatkan kebenaran yang bisa kau tunjukkan, dalam kebijaksaanmu yang ulung itu, maka ajarilah aku!"
"Suatu perintahkah itu atau permintaan?" tanya si darwis.
"Terserah padamu. Kalau dianggap suatu perintah, aku siap belajar. Kalau dianggap permintaan, aku siap belajar," kata Raja. Dan, ia menunggu jawaban darwis itu.
Berpuluh-puluh menit berlalu, dan akhirnya darwis itu menengadahkan kepalanya yang sejak tadi tunduk merenung. Katanya, "Raja harus menantikan 'saat pewahyuan'."
Jawaban itu mengherankan Raja, sebab, bagaimanapun juga, manakala ia ingin mengetahui sesuatu ia merasa memiliki hak untuk diberitahu, atau ditunjukkan, sesuatu atau lainnya. Darwis itu pun meninggalkan istana raja.
Semenjak itu, hari demi hari, si darwis terus menyertai sang raja. Siang dan malam urusan negara terjadi, kerajaan itu melewati masa suka dan duka, para penasihat raja memberikan saran mereka, dan roda kehidupan terus saja berputar.
"Darwis itu datang ke istanaku setiap hari," pikir sang raja, setiap kali matanya menangkap sosok seorang yang memakai jubah tambal sulam, "Dan tetap saja ia tak pernah menyinggung percakapan kami tentang belajar itu. Benar, ia terlibat dalam banyak peristiwa di istana ini, ia bicara dan tertawa, ia makan dan tidur. Adakah ia sedang menantikan sebuah pertanda atau semacamnya?"
Tetapi, sekeras apa pun berusaha, raja itu tetap tak dapat menduga makna dari misteri itu. Ketika pusaran ombak tak kasat mata pada akhirnya mencapai pantai kemungkinan, muncullah desas-desus di istana raja. Ada seorang yang mengatakan, "Daud dari Sahil adalah penyanyi terbaik di dunia."
Biasanya percakapan semacam itu tak digubris oleh raja, tetapi sekali ini ia merasakan keinginan yang kuat untuk mendengarkan penyanyi itu. "Bawa penyanyi itu ke istanaku," kata sang raja.
Pengurus acara kerajaan pun diutus ke rumah penyanyi itu, tetapi Daud—raja di antara para penyanyi—menjawab, "Rajamu itu hanya tahu sedikit tentang syarat-syarat menyanyi. Kalau ia sekadar ingin melihat wajahku, aku akan datang. Tetapi kalau ia ingin mendengarku menyanyi, ia harus menunggu, sama seperti orang lain, hingga aku berada dalam suasana hati yang tepat untuk menyanyi. Mengetahui kapan harus tampil dan kapan tidak tampil itulah yang membuatku menjadi penyanyi terbaik, sama seperti pengetahuan ini akan membuat orang bodoh mana pun yang mengetahuinya, menjadi penyanyi hebat."
Ketika perkataan itu disampaikan kepada raja, ia merasa marah sekaligus semakin ingin, dan berkata, "Tak adakah seorang pun di istana ini yang mau memaksa lelaki itu menyanyi untukku? Sebab, bila ia menyanyi hanya ketika suasana hatinya tepat, aku pun demikian. Aku mau mendengarkan nyanyiannya ketika aku masih ingin mendengarnya."
Kemudian, Darwis itu tampil ke depan dan berkata, "Burung Merak zaman ini, ikutlah bersamaku menemui penyanyi itu."
Para pejabat istana saling bertatapan. Beberapa dari mereka berpikir bahwa darwis itu memainkan suatu permainan berbahaya, dan sekarang ia sedang berjudi dalam hal membuat penyanyi itu mau tampil. Kalau ia berhasil, tentu sang raja akan memberinya hadiah. Tetapi, mereka ngeri membayangkan bila kemungkinan sebaliknya yang terjadi.
Tanpa menjawab, sang raja bangkit dan menyuruh dibawakan sepotong pakaian kumal. Raja itu mengenakannya, lalu bergegas mengkuti si darwis. Raja yang menyamar dan pemandunya itu pun sampai di rumah penyanyi itu. Ketika pintu diketuk, terdengar Daud berseru, "Hari ini aku tak ingin menyanyi. Jadi, pergilah dan jangan ganggu kedamaianku."
Mendengar itu, si darwis duduk bersila di tanah, dan mulai menyanyi. Ia mendendangkan lagu Daud yang paling disukai orang, dan ia menyanyikan keseluruhan lagu itu, dari awal hingga akhir.
Sang raja, yang tidak biasa menilai nyanyian, sangat terpesona oleh lagu itu, dan perhatiannya teralihkan pada kemerduan suara darwis itu. Ia tidak tahu bahwa darwis itu sengaja menyanyikan lagu tersebut secara keliru agar muncul keinginan penyanyi itu untuk membetulkannya.
"Lagi, lagi, nyanyikan lagu itu lagi," pinta raja itu, "Sebab, belum pernah aku mendengar nyanyian semerdu itu."
Namun, saat itu Daud mulai menyanyi. Sejak nada pertama, darwis itu dan sang raja dibuat terkesima, perhatian mereka terpaku kepada rangkaian nada yang mengalun tanpa cela dari pita suara Si Burung Bulbul dari Sahil.
Ketika Daud selesai menyanyi, sang raja memberikan hadiah berlimpah kepadanya. Kepada darwis itu, sang raja berkata, "Manusia bijaksana! Aku mengagumi caramu memancing Burung Bulbul itu menyanyi, dan aku akan dengan senang hati mengangkatmu menjadi penasihat di istanaku."
Tetapi, darwis itu menjawab, "Yang Mulia, engkau bisa mendengarkan lagu yang engkau kehendaki hanya jika ada seorang penyanyi, jika engkau ada saat ini, dan jika ada seorang yang membentuk saluran agar lagu itu bisa dinyanyikan. Sebagaimana halnya dengan penyanyi terbaik dan raja, demikian pula dengan darwis dan para pengikutnya. Waktu, tempat, orang, dan kecakapan."
Benturan antara para Sufi dan pelajar biasanya tampak jelas dalam teori bahwa pemikiran-pemikiran Sufi hanya bisa dipelajari dalam kesesuaian dengan prinsip-prinsip tertentu; termasuk di antaranya waktu, tempat, dan orang.
Para sarjana menuntut pembuktian terhadap klaim-klaim Sufi dalam istilah-istilah mereka sendiri. Banyak kisah Sufi yang menggambarkan, seperti halnya kisah ini, bahwa para Sufi hanya menuntut kesempatan yang sama untuk memenuhi berbagai syarat yang diminta oleh para akademisi ataupun ilmuwan.
Kisah ini berasal dari ajaran Sayed Imam Ali Shah, yahg wafat pada tahun 1860 dan dimakamkan di Gurdaspur, India.