REPUBLIKA.CO.ID, Konon, ada seorang putri raja yang keelokannya bagaikan rembulan; semua orang mengaguminya.
Pada suatu hari, seorang darwis yang sedang akan memasukkan makanan ke mulutnya, melihat putri tersebut. Makanan itu jatuh ke tanah, sebab ia begitu terpesona sehingga tidak bisa menggenggam semestinya.
Ketika darwis itu berlalu, Sang Putri tersenyum kepadanya. Tindakan putri itu sungguh-sungguh menyebabkannya sawan, makanannya di tanah, pikirannya lenyap separo. Dalam keadaan mabuk kepayang semacam itu, ia tidak berbuat apa pun selama tujuh tahun. Darwis tersebut selama itu tidur di jalan, tempat anjing-anjing tidur.
Ia menjadi gangguan bagi Sang Putri, dan para pengawalnya memutuskan akan membunuh lelaki itu.
Tetapi Sang Putri memanggilnya, katanya, "Tak mungkin kita berdua hidup bersama. Dan budak-budakku akan membunuhmu, oleh karena itu menghilanglah saja!"
Lelaki yang merana itu menjawab, "Sejak kulihat Tuan Putri, hidup ini tak ada artinya. Mereka akan membunuhku tanpa alasan. Namun, jawablah pertanyaanku yang satu ini, karena engkaulah yang akan menjadi penyebab kematianku. Mengapa pula dulu kau tersenyum padaku?"
"Tolol!" kata Sang Putri. "Ketika kulihat betapa tololnya kau waktu itu, aku tersenyum kasihan, bukan karena apa-apa." Dan Putri pun pergi meninggalkannya.
Dalam Musyawarah Burung, Attar membicarakan kesalahpahaman emosi subyektif yang menyebabkan orang percaya bahwa pengalaman tertentu (senyum Sang Putri) merupakan hadiah istimewa (kekaguman), padahal sebenarnya merupakan hal yang sebaliknya (kasihan).
Banyak orang yang salah menafsirkan, sebab karya semacam ini memiliki konvensinya sendiri. Salah tafsir itu beranggapan bahwa karangan klasik Sufi adalah cara lain dari penggambaran teknis tentang keadaan kejiwaan.