Rabu 18 Jan 2012 17:43 WIB

Tarekat Naqsyabandiyah di Nusantara (2-habis)

Rep: Devi Anggraini Oktavika/ Red: Chairul Akhmad
Ilustrasi
Foto: Blogspot.com
Ilustrasi

REPUBLIKA.CO.ID, Tokoh Naqsyabandiyah Khalidiyah Indonesia lainnya adalah seorang sufi asal Minangkabau, yakni Ismail Minangkabawi yang merupakan murid dari Abdullah Makki.

Setelah lama menetap di Makkah, Minangkabawi menetap di Pulau Penyengat di wilayah kepulauan Riau. Di sana, ia memperoleh kesetiaan dari keluarga pemerintahan yang telah mengenal Naqsyabandiyah melalui duta-duta pemerintah yang dikirim dari Madinah oleh Muhammad Mazhhar.

Minangkabawi juga pergi ke Melayu hingga Kedah (negeri-negeri yang membentuk Persekutuan Tanah Melayu; sekarang Malaysia), dan mempropagandakan Khalidiyah ke mana pun ia pergi. Namun usahanya merupakan rintisan, yang kemudian digantikan oleh dua orang Khalidiyah yang tinggal di Makkah, yakni Khalil Hamdi Pasya dan Syekh Sulaiman Zuhdi.

Dalam jangka panjang, Sulaiman Zuhdi lebih berhasil daripada Khalil Hamdi Pasya. Bahkan, Jabal Abi Qubais di Makkah, tempat ia tinggal, dipandang sebagai sumber seluruh Tarekat Naqsyabandiyah di Asia Tenggara. Di antara murid-muridnya kemudian banyak yang mendirikan pusat penyebaran Khalidiyah di berbagai tempat di Sumatera, Jawa dan Sulawesi.

Kemudian, Abdil Wahab Rokan dikirim dari Makkah pada tahun 1868 dengan misi menyebarkan Khalidiyah di seluruh Sumatera, dari Aceh sampai Palembang. Misi yang sukses dilakukannya adalah mendirikan pusat penyebaran Khalidiyah di Babussalam, Lengkat. Ia juga pernah tinggal dan menetap di Johor selama tiga tahun, sehingga memungkinkannya untuk memperluas pengaruhnya hingga ke Semenanjung Malaya.

Babussalam, yang dikenal juga dengan Besilam, disebut-sebut sebagai pusat penyebaran Tarekat Naqsyabandiyah Khalidiyah terbesar di Indonesia, bahkan di Asia Tenggara. Wikipedia menyebutkan, Babussalam dibangun pada 12 Syawal 1300 H (1883 M) di atas tanah wakaf raja Langkat pada masa itu, Sultan Musa Al-Muazzamsyah.

Besilam atau Babussalam, yang berarti “pintu kesejahteraan,” merupakan sebuah perkampungan terpencil dan terisolasi di tengah hutan sekunder di ujung Tanjung Pura, Padang Tualang, Langkat, Sumatera Utara. Daerah itu dihuni para sufi yang mengamalkan ketaatan pada pengasingan dari kehidupan duniawi dan mencari jalan menuju Sang Khalik. Bahkan Sultan Musa al-Muazzamsyah diceritakan ikut menetap di sana dan mengajarkan Tarekat Naqsyabandiyah sampai akhir hayatnya.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement