REPUBLIKA.CO.ID,PARIS--Atas dasar netralitas agama, pengadilan Prancis memutuskan pemecatan karyawan berjilbab sah di mata hukum. Demikian hasil pengadilan banding kasus pemecatan Afif Fatima oleh Baby Loup, perusahaan yang mempekerjakan Fatima.
Kasus Fatima berawal, saat ia menolak untuk melepas jilbab saat diminta pemilik Babay Loup. Lantaran menolak, Fatima selanjutnya dipecat. Tidak terima dengan putusan itu, Fatima membawa kasus itu ke pengadilan. Pengadilan memutuskan apa yang dilakukan Baby Loup sah dimata hukum.
Fatima lalu mengajukan banding atas putusan itu. Namun, pengadilan banding di Versailles mendukung putusan pengadilan perburuhan. Pengadilan banding menyatakan Baby Loup tidak melakukan kesalahan. "Ini adalah kemenangan bagi kami, tentu saja kemenangan bagi Prancis dan sekularisme," papar pengacara Baby Loup, Richard Malka, seperti dikutip radio RFI, Jum'at (28/10).
Ia mengatakan, netralitas agama dalam sebuah perusahan dapat memberikan jaminan tidak adanya risiko benturan antar agama. Dengan demikian, jaminan keseteraan antar karyawan terlindungi. Komunitas Muslim Prancis menyayangkan putusan itu. Mereka mengatakan pengadilan telah melakukan diskriminasi terhadap agama.
Prancis merupakan negara pertama di Eropa yang memberlakukan aturan melarang simbol-simbol agama diperlihatkan di tempat-tempat umum. Melalui UU yang diberlakukan, pemerintah Prancis akan mengenai denda sebesar 150 Euro bagi perempuan yang mengenakan cadar di jalan atau di gedung-gedung umum. Sementara laki-laki yang memaksa istrinya mengenakan cadar atau burka atau niqab diancam denda sebesar 30 ribu euro.
Sementara itu, Amnesty International menyatakan pelarangan itu justru menghalangi kebebasan mengeluarkan pendapat. Selanjutnya Lembaga Hak Asasi Manusia itu juga khawatir perempuan yang saat ini mengenakan cadar tidak akan berani lagi ke luar rumah.
Prancis bukan satu-satunya negara Eropa yang sibuk melarang pemakaian cadar. Spanyol dan Belgia juga melakukan hal yang sama.