REPUBLIKA.CO.ID, DUBAI – Kantor notaris atau kantor urusan hukum di Iran, yang biasanya menerima pendaftaran nikah dan urusan sipil, kini memiliki layanan baru, yaitu mencari perempuan-perempuan yang bersedia menjalani nikah mut'ah (kawin kontrak).
Hal ini diungkapkan oleh koran Iran berbahasa Parsi, Mellat, dalam laporan yang dipublikasikan awal pekan ini. "Kantor-kantor notaris ini biasanya mendokumentasikan perkawinan permanen maupun perkawinan sementara. Namun kini memiliki layanan baru, yaitu mencari para wanita yang bersedia dinikah mut'ah," tulis Mellat, sebagaimana dilansir Al-Arabiya, Rabu (8/6).
Menurut Mellat, kantor-kantor tersebut mendapatkan pembayaran uang di muka dalam menyediakan wanita-wanita yang sesuai dengan spesifikasi si peminat, baik yang untuk nikah mut'ah atau nikah permanen. "Nominal uang yang diminta tiap kantor untuk mencari pasangan kaum pria ini, bervariasi antara satu dan lainnya, sesuai tingkat kesulitan pencarian wanita yang bersangkutan," jelas Mellat.
Ketua Lembaga Urusan Sipil, Muhammad Nazimi Ordekani, menyesalkan tindakan kantor notaris yang menciptakan layanan baru tersebut, karena tugas mereka adalah melayani dan mengurusi pendaftaran nikah dan talak. "Bukan untuk mencari wanita yang mau dikawin kontrak," kata Ordekani.
Sebuah studi ilmiah tentang kelompok masyarakat yang dilakukan oleh Lembaga Studi Ilmu-Ilmu Sosial Iran menghasilkan sebuah buku berjudul "Keluarga Modern dan Nikah Mut'ah", tulisan DR Shahla I'zazi. Dalam buku ini, I'zazi menunjukkan pola hubungan antara keluarga modern, yaitu keluarga inti—yang terdiri dari suami, istri dan anak-anak—dan perkawinan sementara.
"Kami melihat, meskipun keluarga Iran telah modern, namun pemerintahnya mempromosikan fenomena nikah mut'ah. Padahal itu tidak sesuai dengan kehidupan modern kita," kata I'zazi.
Menurut dia, fenomena nikah mut'ah ini adalah tuntutan sejumlah pejabat Iran yang menginginkan adanya hubungan gelap antara laki-laki dan perempuan. Oleh sebab itu, mereka mencoba melegitimasi hubungan ini melalui pernikahan sementara.
Walau demikian, kata I'zazi, mayoritas warga Iran menolak nikah mut'ah, seraya menjelaskan perbedaan antara nikah mut'ah dan permanen. "Nikah mut'ah ditentukan oleh harga dan durasi," ujarnya. "Oleh sebab itu, dikenal adanya 'mahar berjangka' dan 'durasi berjangka' yang menjustifikasi bahwa si wanita tidak berhak mendapatkan nafkah dari suaminya."
Selain itu, bayi yang lahir dari hasil nikah mut'ah tidak berhak menjadi ahli waris, tidak sebagaimana anak yang lahir dari pernikahan permanen. Walau demikian, perempuan yang dinikahi secara mut'ah berhak mengakhiri hubungan dengan 'lakinya' jika ia sudah bosan. Sesuatu yang sangat susah ditemui dalam perkawinan permanen.
Sementara itu, seorang peneliti Iran mengatakan, tujuan promosi kawin kontrak ini adalah untuk mengatur hubungan seksual antara pria dan wanita. "Semua ini tak lepas dari urusan seks," ujarnya.
Statistik menunjukkan bahwa pelaku nikah mut'ah atau kawin kontrak terbesar adalah warga kota Qum. Kota yang dianggap suci dan merupakan pusat pendidikan ilmu agama, yang sebagian besar lulusannya menjadi ulama Syiah ternama. Studi lain menunjukkan bahwa orientasi warga Iran untuk melakukan nikah mut'ah lebih besar ketimbang melakukan pernikahan yang permanen.