REPUBLIKA.CO.ID, Sulaiman bin Abdul Malik naik tahta sebagai khalifah menggantikan saudaranya, Walid bin Abdul Malik, pada usia 42 tahun. Ia hanya memerintah selama dua tahun (97 H-99 H).
Menurut sebagian ahli sejarah, menjelang wafatnya, Walid bin Abdul Malik tidak sempat menunjuk seseorang sebagai pengganti. Para pemuka keluarga Bani Umayyah akhirnya memutuskan Sulaiman bin Abdul Malik sebagai Khalifah Ketujuh Daulah Umayyah di Damaskus, Syria. Saat itu Sulaiman sendiri berada di kota Ramallah. Ia baru mengetahui berita wafatnya Walid setelah sepekan kemudian.
Begitu menjabat khalifah, banyak perubahan yang dilakukan Sulaiman bin Abdul Malik. Yang terbesar adalah pergantian beberapa pejabat penting pemerintah. Inilah yang membuat puncak kejayaan Daulah Umayyah menurun.
Sebelumnya, Abdul Malik bin Marwan dan Walid bin Abdul Malik menempatkan tokoh-tokoh terkuat di beberapa daerah. Misalnya, Hajjaj bin Yusuf dan Qutaibah bin Muslim ditempatkan di wilayah timur, sedangkan Musa bin Nushair dan Thariq bin Ziyad ditempatkan di wilayah barat. Sulaiman bin Abdul Malik memberhentikan ketiga tokoh tersebut.
Musa bin Nushair, penakluk Spanyol dan Portugal, tiba di Damaskus tiga hari sebelum Walid bin Abdul Malik wafat. Tanpa alasan yang bisa diterima, Musa bin Nushair diberhentikan dan dibuang ke Madinah. Dua tahun kemudian, tokoh ini wafat.
Putra Musa bin Nushair, Abdul Malik bin Musa yang menjabat gubernur wilayah Afrika di Kairawan juga diberhentikan. Sebagai penggantinya diangkatlah Muhammad bin Yazid. Sedangkan Abdul Azis bin Musa, putra Musa bin Nushair yang menjabat gubernur di wilayah Andalusia yang berkedudukan di Toledo, dikudeta oleh pasukannya sendiri dan gugur dalam sebuah peperangan. Sebagai penggantinya, Sulaiman bin Abdul Malik mengangkat Abdurrahman Ats-Tsaqafi.
Sementara itu, Hajjaj bin Yusuf meninggal terlebih dahulu daripada Walid bin Abdul Malik. Namun demikian, keluarganya tak ada yang luput dari kebijakan Kalifah Sulaiman. Mereka yang masih memegang jabatan langsung diberhentikan.
Tindakan fatal lainnya yang dilakukan Khalifah Sulaiman bin Abdul Malik adalah membebaskan para tahanan politik di Irak dan Iran. Dilihat dari sudut kemanusiaan, sekilas tindakan ini positif. Namun di sisi lain, mereka yang menentang pemerintahan selama ini menjadi bebas berbuat apa saja.
Ketika masih hidup, Hajjaj bin Yusuf dan Qutaibah bin Muslim sepakat untuk mengangkat Abdul Azis bin Walid sebagai calon pengganti sang khalifah. Namun, Walid bin Abdul Malik meningga sebelum sempat menetapkan keputusan itu.
Itulah yang membuat Khalifah Sulaiman tidak senang dengan Hajjaj dan Qutaibah. Rasa tidak senang itu sudah terbaca oleh Qutaibah. Apalagi ketika melihat tindakan Khalifah Sulaiman terhadap keluarga Hajjaj dan Musa bin Nushair.
Qutaibah bin Muslim menggerakkan rakyat Khurasan untuk memberhentikan Khalifah Sulaiman. Namun kekuatannya kalah. Ia gugur dalam peperangan. Sebagai gantinya diangkatlah Wakki At-Tamimi.
Sedangkan jabatan Hajjaj bin Yusuf tak pernah diisi lagi. Khalifah Sulaiman menunjuk Yazid bin Muhallib sebagai gubernur wilayah Irak dan Iran. Karena kemampuannya, Yazid bin Muhallib diangkat menjadi gubernur wilayah Khurasan menggantikan Wakki At-Tamimi. Selanjutnya, gubernur Yazid melebarkan sayap kekuasaannya ke daerah Tabaristan dan Jurjan.
Sementara itu, kemenangan Panglima Maslamah bin Abdul Malik di daerah Asia Kecil pada masa pemerintahan Khalifah Walid bin Abdul Malik, membuat geger imperium Romawi Timur. Hal itu membangkitkan minat Khalifah Sulaiman untuk menaklukkan Konstantinopel.
Ia pun mempersiapkan bala bantuan berkuatan 120.000 orang untuk memperkuat pasukan saudaranya. Khalifah Sulaiman sendiri ikut dalam pasukan itu. Namun ia terpaksa berhenti di Caesarea wilayah Galtia karena sakit. Sedangkan Maslamah dan pasukannya meneruskan perjalanan. Pasukan Romawi tidak mengadakan perlawanan. Mereka bertahan di benteng Konstantinopel dalam kepungan pasukan kaum Muslimin yang cukup lama.
Khalifah Sulaiman bin Abdul Malik wafat dalam usia 45 tahun. Keinginannya untuk menaklukkan ibukota Konstantinopel gagal. Di antara yang dapat dikenang pada masa pemerintahannya adalah menyelesaikan pembangunan Masjid Al-Jami’ Al-Umawi yang dikenal megah dan agung di Damaskus.
Khalifah Sulaiman bin Abdul Malik mempunyai seorang putra mahkota bernama Ayyub bin Sulaiman yang sudah ia siapkan sebagai penggantinya. Namun sayang, sang putra meninggal dunia sebelum niat ayahnya tercapai. Khalifah Sulaiman berniat mencalonkan putranya yang lain, namun karena masih terlalu muda, Raja’ bin Haiwa’, seorang tabiin penasihat utama istana menyarankan agar niat itu ditunda. Raja’ mengusulkan nama Umar bin Abdul Azis.
Lobi yang dilakukan Raja’ berhasil. Umar bin Abdul Azis pun diangkat sebagai khalifah kedelapan pengganti Sulaiman bin Abdul Malik. Sejarah pun membuktikan, pilihan sang ulama tidak meleset. Pada masa pemerintahan Umar bin Abdul Azis, Daulah Umayyah mengalami kegemilangan, sehingga para ahli sejarah menjuluki Umar bin Abdul Azis sebagai Khalifah Ar-Rasyidah kelima setelah Ali bin Abi Thalib.