Selasa 02 Oct 2018 15:43 WIB

Stephen Schwart: Islam Beri Kedamaian

''Islam memberikan apa yang saya cari selama ini, yakni kedamaian.''

Stephen Suleyman Schwartz
Foto: islamicpluralism
Stephen Suleyman Schwartz

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA --  Stephen Schwartz, seorang penganut ateis (tak bertuhan), Amerika Serikat awalnya mengira begitu membenci Islam.

Namun, setelah ia mempelajari Islam, justru ia mendapatkan ketenangan hidup.

Baginya, Islam adalah agama yang sangat mencintai pada sesama, cinta damai, dan tak suka pada permusuhan. Dan ia pun, kerap mengampanyekan Islam sebagai agama yang damai dalam berbagai media, serta mengkritik pihak-pihak yang menyudutkan Islam.

Di negaranya, Amerika Serikat, pria yang lahir di Columbus, Ohio, ini dikenal sebagai wartawan, kolumnis, dan penulis. Setelah memeluk Islam, mantan wartawan senior San Francisco Chronicle ini kerap mengkritik kebijakan pemerintahan George W Bush yang sering mengidentikkan teroris dengan Islam.

Artikel-artikel kontroversial Schwartz kerap muncul di sejumlah koran ternama seperti The New York Times, The Wall Street Journal, The Los Angeles Times, dan The Toronto Globe and Mail. Ia juga merupakan kontributor tetap untuk The Weekly Standard, The New York Post dan Reforma di Mexico City.

Schwartz mengenal Islam dan bersyahadat ketika bertugas sebagai reporter di Bosnia pada 1997 atau di usianya yang ke-49. Sebelumnya, lebih dari 30 tahun lamanya, dia melakukan studi dan menimba berbagai pengalaman hidup serta mempelajari sejarah beberapa agama samawi.

''Aku tertarik pada Islam sejak 1990 saat berkunjung ke Bosnia untuk melakukan studi tentang sejarah Yahudi di Balkan,'' ungkap Schwartz kepada situs Islam Religion.

Pada saat melakukan studi tentang sejarah Yahudi ini, terang Schwartz, dia sempat menjalin kontak dengan tokoh-tokoh Islam Balkan. Sejak saat itu ia mengaku tertarik pada kehidupan sufi dalam Islam.

Sebelum mengenal Islam, Schwartz merupakan seorang ateis. Ayahnya, Horace, adalah seorang Yahudi. Sementara ibunya adalah seorang pemeluk Protestan. ''Aku dibesarkan dalam lingkungan yang benar-benar ekstrem bagi kebanyakan orang Amerika,'' kata pria yang menggunakan nama Suleyman Ahmad sebagai nama Muslimnya.

Sebagai seorang ateis, tentunya Schwartz tidak percaya pada adanya Tuhan dan doktrin agama. Dia sendiri mengaku pertama kali bersentuhan dengan agama tatkala mengikuti kegiatan gereja Katolik.

Walau saat itu belum memutuskan ikut ajaran Katolik, dia sempat tertarik dengan sejumlah literatur tentang kebatinan dalam ajaran Katolik. Keingintahuannya membuat Schwartz melakukan sejumlah studi dan riset mendalam hingga ke Spanyol.

Di awal penelitiannya, Schwartz mengamati bahwa di balik kejayaan Katolik di Spanyol ternyata terdapat pengaruh kuat sejarah Islam kala berkuasa di negara tersebut. Dia mengaku takjub dan terinspirasi dengan agama Islam yang masih bertahan dalam sejumlah tradisi di sana.

''Sebagai seorang penulis, aku meneliti fenomena ini selama bertahun-tahun. Mula-mula kupelajari sejarah itu melalui aneka karya sastra masa lampau yang menunjukkan pengaruh Islam di wilayah Spanyol,'' ungkap dia.

Tak hanya ajaran Katolik yang dipelajarinya. Awal 1979, fokus penelitiannya beralih ke Kabbalah, sebuah tradisi mistik bangsa Yahudi. Saat meneliti tradisi Kabbalah ini, ia menemukan kesamaan dengan penelitiannya mengenai Katolik di Spanyol.

''Di dalam Kabbalah itu juga kudapati adanya pengaruh Islam,'' ujar Schwartz yang meneliti tentang Kabbalah selama hampir 20 tahun lamanya.

Selama meneliti Kabbalah, dia sempat melakukan perjalanan ke Bosnia dalam kapasitasnya sebagai seorang jurnalis. Perjalanan yang dilakukannya pada 1990 ini membawanya bersentuhan secara langsung dengan Islam untuk pertama kalinya. Dan, untuk kali pertama dalam hidupnya, ia mengunjungi sebuah masjid di ibu kota Bosnia, Sarajevo.

Saat bermukim di Sarajevo, Schwartz bertemu dengan Syekh Hisham, seorang guru Tarekat Naqshabandiyah. Ia mengaku amat terkesan dengan ajaran-ajaran yang disampaikan Syekh Hisham. Ia juga menemukan banyak hal yang mengesankan hatinya.

Ia mendapati orang-orang Islam di lingkungan tempat tinggalnya begitu ramah kepadanya yang merupakan orang asing. Tak hanya itu, selama di negara Balkan ini ia juga mempelajari beberapa bagian dari Alquran dan mengunjungi monumen-monumen Islam.

Pengalaman spiritual yang ia alami selama di Bosnia ini telah membawanya pada sebuah kesimpulan bahwa di dalam Islam ia menemukan apa yang dicarinya selama ini. ''Islam mampu menawarkan jalan terdekat untuk mendapatkan kasih sayang Allah.'' Hatinya benar-benar terkesan hingga dalam hitungan minggu dia memutuskan untuk bersyahadat dan masuk Islam kala di Bosnia.

sumber : Oase Republika
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement