Jumat 20 Jul 2018 13:39 WIB

Pakar: Jerman Butuh Aturan Hukum untuk Islam

Demokrasi memang tak menguntungkan minoritas.

Rep: Fernan Rahadi/ Red: Friska Yolanda
Pakar Islam asal Jerman, Susanne Kaiser (baju putih) saat berdiskusi dengan para peserta program studi Life of Muslims in Germany, Selasa (17/7).
Foto: Republika/Fernan Rahadi
Pakar Islam asal Jerman, Susanne Kaiser (baju putih) saat berdiskusi dengan para peserta program studi Life of Muslims in Germany, Selasa (17/7).

REPUBLIKA.CO.ID, BERLIN -- Jerman selama ini dikenal sebagai negara yang sekuler, dimana negara sama sekali tidak boleh mencampuri urusan agama. Meskipun demikian, melihat tren akhir-akhir ini dimana jumlah Muslim semakin meningkat maka dibutuhkan sebuah aturan hukum yang bisa memayungi agama tersebut. Hal ini disebabkan secara kelembagaan Islam kurang terintegrasi dengan baik dengan masyarakat Jerman.

"Sekuler memang berarti bahwa agama harus dipisahkan dengan negara. Meskipun demikian, integrasi bukanlah sebuah jalan satu arah. Dibutuhkan sistem yang beradaptasi dengan struktur yang tegak di masyarakat," kata pakar Islam asal Jerman, Susanne Kaiser, Selasa (17/7).

Negara, kata Kaiser, memang tetap harus netral dan berdiri di atas semua agama. Meskipun demikian, negara juga harus menjamin para pemeluk agama untuk menjalankan keyakinannya. "Selama ini pemerintah dinilai mendukung Islam liberal, hal ini menjadi kontradiktif," kata wanita yang juga berprofesi sebagai jurnalis tersebut.

Baca juga, Mengunjungi Masjid Tertua di Jerman

Yang jadi masalah, selama ini para pemeluk Islam di Jerman tidak terorganisasi dengan baik. Lain halnya dengan agama Kristen Protestan yang sudah mapan terlebih dahulu dan terorganisasi di antaranya lewat aturan pajak gereja (church tax). 

Islam, kata Kaiser, juga berbeda dengan Yahudi yang mendapatkan perlakuan khusus di Jerman akibat sejarah masa lalu yang kelam di negara tersebut.

"Islam di Jerman tidak memiliki pengaruh politik dan lobi terhadap kekuasaan. Jadi mereka harus bernegosiasi dengan mayoritas (Kristen). Demokrasi memang tidak menguntungkan minoritas," ujar Susan.

Salah satu akibat kurang terintegrasinya kelompok-kelompok Islam di Jerman adalah sulitnya membangun masjid yang representatif di Jerman. Bahkan, untuk membangun sebuah masjid yang besar di Koeln (Cologne Central Mosque) dibutuhkan waktu hingga 10 tahun.

Baca juga, Jerman Ingin Tingkatkan Kerja Sama dengan Indonesia

Kemudian, anak-anak muda Islam di Jerman juga merasa tidak terepresentasikan dengan asosiasi-asosiasi Islam yang telah berdiri. Organisasi-organisasi Islam yang ada diyakini hanya merepresentasikan sebesar 20 persen dari total populasi penduduk Muslim yang ada.

Salah satu contohnya adalah The Turkish-Islamic Union for Religious Affairs (DITIB), organisasi Islam terbesar di Jerman yang justru memiliki afiliasi dengan pemerintah Turki. "Padahal representasi sangat penting bagi anak-anak muda" ujarnya.

Pemerintah Jerman, menurut Kaiser, harus terus menjalin dialog dengan kalangan Islam, salah satunya melalui konferensi. Pemerintah Jerman sendiri, lewat Kementerian Dalam Negeri Jerman, telah menginisiasi German Islam Conference (DIK) untuk menjembatani gap antara pemerintah dengan komunitas-komunitas Muslim.

"Tujuan konferensi ini adalah mengintegrasikan Islam sehingga berada di dalam payung hukum komunitas religius. Selain itu juga untuk mengangkat partisipasi sosial para Muslim," ujar penanggung jawab DIK di Kementerian Dalam Negeri Jerman, Maja Jurcic.

Meskipun demikian, kata Jurcic, konferensi ini bukan merupakan bentuk intervensi pemerintah terhadap agama. "Ini juga bukan forum dialog antaragama dan bukan forum yang bisa memecahkan persoalan-persoalan terkait legalitas," ujar Jurcic.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement