Jumat 09 Mar 2012 18:56 WIB

Menimbang Kembali Kasus Syekh Siti Jenar (II)

ilustrasi
Foto: islamicimage
ilustrasi

REPUBLIKA.CO.ID, Syekh Siti Jenar tergolong wali senior dalam Majelis Walisanga. Andilnya terhadap pengembangan Islam di Pulau Jawa sangat besar. Sayangnya, informasi tentang asal usul dan sepak terjangnya sangat simpang siur. Berita menyebut Siti Jenar sebagai penganut Syi'ah yang datang dari tanah Persia dan berdakwah dengan wali lainnya.

Dia menggantikan Syekh Sutamaharja (kakak Maulana Ishak) yang gugur dibunuh oleh pasukan Andayaningrat dari Pengging dalam sebuah insiden antara pasukan Islam dengan laskar Majapahit, sekitar tahun 1524 M. )''Kerajaan-kerajaan Islam di Jawa'', H.J. De Graaf). Siti Jenar tergolong berhasil membangun masyarakat Islam di Pengging, Ngerang, Butuh, Pajang dan sekitarnya sehingga beberapa pembesar setempat seperti Ki Gede Kanigara (putra Andayaningrat) menyerahkan diri masuk Islam.

Lebih dari itu, pola dakwah Siti Jenar melalui pengembangan tradisi keagamaan dianggap paling berhasil, sehingga cara ini ditiru oleh Sunan Kalijaga pada waktu berikutnya. Dalam kaitan ini kita patut mempertanyakan laporan para penulis sejarah yang menyebut Syekh Siti Jenar sebagai musuh Islam, antek-antek kezindikan. Para pelopor nampaknya telah memanipulasi diri dengan menisbatkan Walisanga sebagai pelontar-pelontar tuduhan mereka terhadap Siti Jenar.

Wihdatul wujud sebagai sebuah faham tasauf pada masa itu sudah akrab di mata Walisanga. Apalagi banyak di antara mereka yang mendalami dan mengambil jalan tarekat itu. Sebut saja misalnya Sunan Gunung Jati, Sunan Kalijaga dan Sunan Bonang.

Menurut Kitab ''Walisanga'' yang disebut-sebut sebagai karya Sunan Giri II. Sunan Gunung Jati telah mendalami karya-karya ulama wujudiyah dan menjadikannya sebagai ''kurikulum'' pengajaran kepada para santrinya, semiasl Sunan Kalijaga. Sunan Gunung Jati sangat menguasai ilmu-ilmu yang termaktub dalam kitab karya Syekh Ibrahim Al-Iraqi (kumpulan syair Al-Iraqi), Syekh Abul Hasan Ali Asy-Syabasty (ahli tarikh Daulat Fatimiyah yang meninggalkan karya spektauler ''ad-Dirayah'', berisi kisah jenaka tentang biara-biara di Irak, Suriah, Mesir dan Aljazair), Syekh Muyidin Ibnu Araby (Ibn Araby), Syekh Abu Yazid Al-Bustomi, Syekh Abu Abdullah Ibn Muhammad Ar-Rudayi (yang digelari ''Babak Penyair Persia''), Syekh Samaun Assarini dan kitab-kitab karya ulama wihdatul wujud lainnya. Sunan Gunung Jati juga dikenal sebagai penganut Syi'ah yang sangat sholih. Bahkan, hingga pemerintahan Penembahan Giri Laya (1650-1662) Syi'ah menjadi mazhab resmi kerajaan Cirebon.

Sunan Kalijaga juga seorang penganut wihdatul yang cukup fanatik. Dia bersama-sama Syekh Siti Jenar pernah berguru faham ini kepada Sunan Bonang bin Sunan Ampel. Tema-tema dakwah yang dikumandangkan Sunan Kalijaga sangat mengakar bercorak wujudiyah. Hal itu antara lain dapat dilihat dari karya yang cukup masyhur di masyarakat Jawa, ''Dewa Ruci''. Arya Sena (Bhima) yang menjadi tokoh cerita itu berusaha mencari Jejering Pangeran (letak kedudukan Tuhan) mencapai klimaks usahanya setelah fana, melebur masuk dalam telinga Dewa Ruci. Karya ini merupakan pengembangan dari paham Jalaluddin Rumy, dan khususnya ''Manthiquth Thair'' karya Fariduddin Athar. Dua nama yang disebutkan terakhir adalah tokoh utama wihdatul wujud.

Penjelasan di atas mengasumsikan bahwa wihdatul wujud yang dianut Syekh Siti Jenar dianut pula oleh sebagian anggota Walisanga. Maka, wajarkah jika Majelis Walisanga menganggap sesat kepercayaan itu padahal dianutnya juga? Tuduhan itu makin tidak jelas dengan adanya label Jubariyah dan Qodariyah sekaligus.

Satu sisi Syekh Siti Jenar disesatkan karena berprinsip bahwa gerak langkah manusia secara mutlak ditentukan oleh Tuhan (Jabariyah), dan pada sisi lain dia dizindikkan karena menganut paham Qodariyah yang menganggap takdir manusia sepenuhnya ditentukan oleh tindakan dan sikapnya sendiri dan menafikan campur tangan Tuhannya. Bagaimana mungkin dua paham antagonis ini dinisbatkan kepada satu orang secara bersamaan? Para pengulas Syekh Siti Jenar nampaknya tidak memiliki wawasan teologis, sehingga salah melontarkan tuduhan yang sebenarnya jauh panggang dari api.

Siti Jenar juga disebut-sebut sebagai penganut tarekat Rifaiyah -- sebuah aliran tarekat yang didirikan oleh Ahmad Rifai (meninggal 1181 M). Padahal, di Aceh penganut wujudiyah dimusuhi oleh penganut Rifaiyah. Syekh Nuruddin Arraniri yang secara intens mengecam dan memfatwakan halalnya darah kaum wujudiyah adalah syaikh dalam tarikat Rifa'iyah yang ia pelajari dari gurunya Syaikh Ba Syaiban di India. Kemungkinan besar tuduhan itu baru disusun setealh munculnya kelompok Ahmad Rifa'i -- sebuah kelompok radikal bermazhab Syafii di Jawa -- yang memberontak penguasa Belanda pada Abad ke-18. Untuk kepentingan politik pemerintahnya, para penulis Belanda telah mencitrakan setiap pembangkang dengan asosiasi sebagai penganut aliran Siti Jenar, yang saat itu telah melegenda sebagai sosok pembangkang.

Kesimpulannya, persoalan Syekh Siti Jenar tampaknya bukan persoalan kemurtadan, kezindikan, atau malah kekafiaan. Masalahnya sebenarnya sudah menjadi klasik. Perbedaan pendapat dalam memasyarakatkan pandangan-pandangan ''esoteris''. Banyak ulama dalam sejarah Islam, termasuk Imam Ghazali, cenderung mempertahankan pembagian masyarakat keilmuan ke dalam kelompok elite (khawash) dan awam. Hal ini ternyata dari vonis yang dibacakan oleh Sunan Giri: ''Siti Jenar kafir di sisi manusia, dan mukmin di sisi Allah.''

penulis: Walid Syaikhun

sumber : berbagai sumber
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement