Jumat 21 Jun 2019 17:09 WIB

Wawancara: Kiprah Ulama Betawi Melawan Penjajah (1)

Ustaz Rakhmad Zailani Kiki menjelaskan kiprah ulama Betawi

Rep: Iit Septyaningsih/ Red: Hasanul Rizqa
Kepala Divisi Pengkajian dan Pendidikan Jakarta Islamic Centre DKI Jakarta Rakhmad Z. Kiki memaparkan rencana acara Jakarta Islamic Education 2017 kepada redaksi Republika di kantor Republika, Jakarta, Rabu (12/4).
Foto: Republika/ Yasin Habibi
Kepala Divisi Pengkajian dan Pendidikan Jakarta Islamic Centre DKI Jakarta Rakhmad Z. Kiki memaparkan rencana acara Jakarta Islamic Education 2017 kepada redaksi Republika di kantor Republika, Jakarta, Rabu (12/4).

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Jakarta merupakan ibu kota Indonesia. Metropolitan ini sepanjang sejarahnya telah melahirkan banyak ulama.

Para ulama Betawi pun telah banyak berkontribusi dalam mengembangkan Islam di pusat kota. Selain giat berdakwah, sejak dulu ulama Betawi dikenal pula turut andil dalam mengusir penjajah sekaligus merebut kemerdekaan di Tanah Air.

Baca Juga

Untuk membahas hal itu, wartawan Republika Iit Septyaningsih berkesempatan berbincang dengan Kepala Divisi Pendidikan Pelatihan Badan Manajemen Jakarta Islamic Centre (JIC), Ustaz Rakhmad Zailani Kiki. Berikut kutipan wawancaranya.

 

Peran ulama Betawi dalam melawan penjajah?

Kalau bicara tentang peran ulama Betawi melawan penjajah, kita bisa telusuri dari serangan kedua Sultan Agung dari Mataram ke Batavia pada 1629. Sebelumnya pada 1628, Sultan Agung juga telah menyerang Belanda di Batavia. Namun, yang paling berpengaruh itu saat serangan kedua, sebab banyak korban dari pihak Belanda, bahkan menewaskan Gubernur Jenderal VOC (Vereenigde Oostindische Compagnie), yaitu JP Coen.

Setelah penyerangan tersebut, sebagian dari pasukan Sultan Agung tidak kembali ke Mataram, tetapi tinggal di Batavia. Misalnya, Tumenggung Mataram Pangeran Cakrajaya yang tinggal di Jembatan Lima di daerah pesisir Sunda Kelapa. Keturunannya yaitu Guru Mansur.

Ada pula yang menetap di Paseban, lalu keturunannya, yakni KH Fathul Harun. Jadi, para pasukan Sultan Agung yang tidak kembali ke Mataram itu merupakan nenek moyang para ulama terkemuka Betawi.

Dengan begitu, perlawanan dari ulama Betawi terhadap penjajah sudah ada sejak nenek moyangnya yang berasal dari Jawa. Itu sudah menjadi satu yang menggelorakan semangat ulama Betawi yang memang keturunan pasukan Sultan Agung. Ketika zaman mendekati kemerdekaan, Guru Mansur misalnya, tetap tidak mau kooperatif dengan tindakan Belanda. Ia selalu berjarak dengan pemerintah Belanda.

Setelah kemerdekaan, yakni saat Belanda datang dengan sekutu melakukan agresi militer, perlawanan ulama Betawi secara fisik lebih kencang lagi. Lalu, muncul pahlawan di kalangan ulama, seperti KH Noer Ali di Bekasi, KH Hasbiyallah di Klender, dan lainnya. Jadi, semangat melawan penjajah di Jakarta sudah ada sejak lama. Tepatnya sejak VOC melakukan tindak merugikan bagi bangsa Indonesia di Jawa serta Batavia.

 

Sejarah nama 'Jakarta' yang ka barnya diambil dari bahasa Alquran?

Memang ada versi sejarah yang mengatakan nama Jayakarta diambil dari Alquran, yaitu 'Fathan Mubina' atau artinya 'Kemenangan yang nyata'. Hanya saja, ada versi lain yang mengatakan, nama tersebut sudah ada di daerah Betawi sejak lama.

Sementara, versi yang menjelaskan nama tersebut diambil dari 'Fathan Mubina' adalah ketika Fatahillah konon menyerang Portugis di Sunda Kelapa. Lalu, daerah di sekitarnya ia beri nama Jayakarta. Namun, versi tersebut banyak dipersoalkan juga, misalnya oleh Ridwan Saidi (Budayawan Betawi). Beliau menyebutkan, nama itu bukan dari penyerangan Fatahillah, melainkan sudah ada di Betawi sendiri.

(Bersambung)

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement