Ahad 22 Oct 2017 09:50 WIB

Jihad Santri Melawan Penjajah

Santri membawa Pataka NU dan Bendera Merah Putih saat kirab peringatan Hari Santri Nasional di Masjid Raya KH Hasyim Asyari, Jakarta, Sabtu (21/10) malam.
Foto: Republika/Wihdan Hidayat
Santri membawa Pataka NU dan Bendera Merah Putih saat kirab peringatan Hari Santri Nasional di Masjid Raya KH Hasyim Asyari, Jakarta, Sabtu (21/10) malam.

REPUBLIKA.CO.ID, Oleh: Hasanul Rizqa

Sesudah Indonesia merdeka, kalangan santri semakin merapatkan barisan untuk membela Tanah Air.

Memasuki abad ke-20, umat Islam menghadapi tantangan besar dari kolonialisme yang penindasannya kian sistematis. Sejak 1870, di Indonesia pemerintah kolonial Belanda telah membuka akses yang luas bagi masuknya modal asing untuk mengeruk kekayaan Tanah Air.

Semua itu demi profit kapital. Memang, ada Politik Etis yang dibuka sejak 1900. Namun, kebijakan itu hanyalah topeng belaka di balik kata humanisme. Sebab, tujuan utamanya adalah berupaya mengekalkan praktik kapitalisme di negeri-negeri jajahan.

Bagaimana kalangan pesantren menangkal ekses negatif ini? Di bidang pendidikan Islam, pesantren memegang peranan penting sebagai benteng pertahanan untuk membendung pengaruh buruk pendidikan yang diselenggarakan Belanda. Ini dilakukan secara bahu-membahu dengan upaya pelbagai wujud dan aksi modernisme Islam yang dihadirkan melalui ormas-ormas besar saat itu, semisal Sarekat Islam.

Pada 1942, Belanda yang menjajah Indonesia ratusan tahun lamanya ternyata tidak siap dengan serbuan dari luar. Dari arah utara, tentara pendudukan Jepang datang merebut Indonesia. Negeri Matahari Terbit tiba dengan kepentingan menjadikan Indonesia sebagai wilayah pemasok bahan baku dan bala bantuan pendukung. Tujuannya agar Jepang memenangkan Perang Asia Timur Raya yang sedang berkecamuk melawan Amerika Serikat (AS) dan sekutu.

Baca Juga: Mengupas Asal Usul Santri dan Pesantren

Sebagai siasat awal, Jepang merangkul tokoh-tokoh dari kalangan umat Islam yang selama ini dipinggirkan pemerintah kolonial Belanda. Di antaranya adalah ulama yang memiliki basis massa pesantren.

Namun, baru berselang satu atau dua tahun sejak masuknya Jepang, umat Islam merasakan situasi yang sama sekali tertekan sebagaimana ketika masih di bawah pemerintah kolonial. Sejumlah pesantren menggelorakan perlawanan terhadap kekejaman Jepang.

Satu contoh perjuangan anti-Jepang itu terjadi di Pesantren Sukamanah. Lokasinya terletak di desa Cimerah, Singaparna, Tasikmalaya. Pemimpinnya merupakan kiai muda yang kharismatik, KH Zaenal Mustafa. Dia baru berusia 26 tahun saat mendirikan Pesantren Sukamanah pada 1927. Ketokohannya tidak sebatas pada pesantren tersebut. Dia sadar betul bahwa pelbagai strategi-strategi penjajah sedang melumpuhkan daya umat Islam.

Kesadaran itu menyebabkannya berkali-kali dipenjara. Kejadian berikut ini terjadi sebelum Jepang menduduki Indonesia. Tokoh Nahdlatul Ulama (NU) ini terlibat aktif dalam polemik tahun 1937. Saat itu, pemerintah kolonial Belanda hendak mengesahkan rancangan undang-undang tentang perkawinan. NU dan Muhammadiyah menolak keras pemberlakuan beleid itu.

Menyatukan kekuatan

Untuk menyatukan kekuatan, ormas-ormas Islam arus besar kemudian membentuk Majelis Islam A’la Indonesia (MIAI). KH Zainal Mustafa merupakan yang turut aktif di MIAI. Dia kerap berceramah sambil mengecam keras campur tangan pemerintah kolonial terhadap urusan umat Islam. Pada 17 November 1941, dia ditangkap pemerintah kolonial Belanda.

Kemudian, dia menjalani masa tahanan di Penjara Sukamiskin, Bandung, selama 53 hari. Dengan datangnya balatentara Jepang, pada 31 Maret 1942 KH Zaenal Mustafa dilepaskan.

Namun, sikapnya ke Jepang tidak kurang kerasnya. Puncak dari konfrontasi itu terjadi pada Jumat, 25 Februari 1944. Peristiwa ini lebih dikenal sebagai Pertempuran Singaparna. Itulah kali pertama perlawanan terjadi terhadap pemerintah pendudukan Jepang di Jawa.

Sesudah Indonesia merdeka, kalangan santri semakin merapatkan barisan untuk membela Tanah Air. Belanda dengan sikap jumawa membonceng kekuatan militer Sekutu yang semata-mata hendak memulihkan para tawanan Perang Asia Timur Raya yang masih ada di Indonesia. Apalagi, pada 31 Agustus 1945 tentara Belanda sengaja mengibarkan bendera kebangsaannya di depan publik Surabaya dengan dalih memperingati hari kelahiran Ratu Belanda. Hal ini kian membuat rakyatm para pemimpin serta ulama Indonesia meningkatkan kewaspadaan.

Dari titik inilah, sekali lagi, peran dunia pesantren mengemuka dalam mempertahankan Indonesia. Seperti dilansir dari laman NU-Online, tokoh Nahdlatul Ulama (NU) KH Hasyim Asy’ari pada 17 September 1945 mengeluarkan Fatwa Jihad. Isinya antara lain adalah penegasan bahwa perjuangan membela Tanah Air merupakan wujud jihad fi sabilillah. Ini pula sebagai jawaban atas pertanyaan Presiden Sukarno sebelumnya yang memohon perspektif hukum Islam mengenai perjuangan mempertahankan kemerdekaan. (Editor: Erdy Nasrul).

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement