Ahad 22 Oct 2017 09:27 WIB

Mengupas Asal-Usul Santri dan Pesantren

Kirab Hari Santri Nasional. Santri menunggu rombongan kirab Hari Santri Nasional di Ponpes Asshiddiqiyah, Jakarta, Sabtu (21/10).
Foto: Republika/ Wihdan Hidayat
Kirab Hari Santri Nasional. Santri menunggu rombongan kirab Hari Santri Nasional di Ponpes Asshiddiqiyah, Jakarta, Sabtu (21/10).

REPUBLIKA.CO.ID, Oleh: Hasanul Rizqa

Sejarah membuktikan santri adalah orang-orang yang berada di garis terdepan dalam memerdekakan bangsa ini.

Asia Tenggara memiliki ciri khas dalam menghadirkan dakwah dan pendidikan Islam. Lembaga pesantren merupakan contohnya. Demikian menurut Howard M Federspiel dalam The Oxford Encyclopedia of the Islamic World. Penamaan pesantren cenderung diterima luas di Jawa.

Adapun di Sumatra, lembaga yang sama bernama surau atau meunasah (Aceh). Di ranah Melayu luar Indonesia, umpamanya Malaysia atau Kamboja, istilah pondok lebih akrab dijumpai. Sementara itu, masyarakat Filipina dan Singapura memakai istilah madrasah.

Dalam bukunya, Tradisi Pesantren (2011), Zamakhsari Dhofier menduga genealogi istilah pondok pesantren. Pondok dari kata funduq yang dalam bahasa Arab berarti ‘asrama.’ Sementara itu, kata pesantren memiliki akar kata santri. Dhofier lalu mengutip pendapat beberapa ahli sejarah, semisal Profesor Johns yang menyebutkan kata santri berasal dari bahasa Tamil dengan arti ‘guru.’

Tak jauh beda adalah pendapat CC Berg bahwa santri berasal dari kata shastri atau cantrik dalam bahasa Sanskerta yang berarti ‘orang yang mengetahui isi kitab suci’ atau ‘orang yang selalu mengikuti guru.’ Adapun M Chaturverdi dan BN Tiwari memandang, kata yang sama berasal dari shastra yang berarti ‘buku.’

Anak-anak santri tekun menuntut ilmu. Mereka dikenal taat menjalani perintah agama dan kiai. Sejarah membuktikan santri adalah orang-orang yang berada di garis terdepan dalam memerdekakan bangsa ini.

Segenep pemaparan tentang istilah pesantren cenderung menegaskan cikal bakal lembaga tersebut tidak lepas dari pengaruh kebudayaan India. Di Indonesia, khususnya Jawa, dalam masa transisi memudarnya pengaruh Hindu-Buddha sekaligus menyebarnya dakwah Islam, para kiai antara lain Wali Songo mengislamkan sistem lembaga pendidikan warisan dua agama tersebut. Kemudian, mereka mengembangkan sistem yang lebih islami yakni pesantren seperti yang kita kenal sampai sekarang.

Hasani Ahmad Said dalam artikelnya di Jurnal Ibda (Desember 2011) menyebut pesantren sebagai lembaga pendidikan Islam tertua di Nusantara. Sejumlah sejarawan menyebut eksistensi pesantren terlebih dahulu hadir sebelum kedatangan bangsa Eropa di Nusantara pada abad ke-16.

Istilah pesantren merujuk pada tempat belajar bagi kaum intelektual Muslim yang dinamakan santri. Mereka mewarisi dan memelihara keberlanjutan tradisi keilmuan Islam sehingga sampai kepada dakwah Rasulullah SAW.

Sanad atau rentetan transmisi keilmuan begitu dihargai di sana. Bahkan, dalam konteks Indonesia, peran pesantren tidak hanya sebatas pendidikan, melainkan juga perjuangan kemerdekaan. Hal itu pernah disimpulkan peneliti Asia Tenggara, Harry J Benda, dalam bukunya yang membahas masa pendudukan Jepang di Indonesia. Dia menekankan, sejarah Islam Indonesia adalah sejarah perluasan peradaban santri serta pengaruhnya bagi kehidupan beragama, sosial, serta politik Indonesia.

Federspiel menjelaskan bahwa menjelang abad ke-17, keberadaan pondok pesantren di Jawa telah menjadi kutub penyeimbang terhadap kekuasaan keraton-keraton. Kultur abangan yang diakomodasi kalangan keraton mendapatkan hubungan diametralnya dengan budaya Islam santri. Para santri belajar kitab kuning yang terbit dalam kurun waktu sejak medio abad ke-13.

Mereka pada umumnya mempelajari ragam keilmuan, mulai dari tata bahasa Arab, nahwu dan sharaf, tafsir dan membaca Alquran (qiraat), tauhid, fiqih empat mazhab, khususnya Imam Syafii, akhlak, mantiq, sejarah, hingga tasawuf. Selain itu, aksara Jawi, yakni huruf Arab dengan bahasa Melayu, kian memantapkan signifikansi pesantren sebagai pusat transfer ilmu yang menjaga corak khas Nusantara di tengah-tengah dunia Islam.

Dalam corak pendidikan pesantren, setidaknya ada beberapa ciri khas, antara lain, hubungan yang akrab antara kiai atau pendiri pesantren itu dan para santri. Kemudian, kehidupan yang sederhana atau mendekati zuhud, kemandirian, gotong royong, pemberlakuan aturan agama secara ketat, serta kehadirannya di tengah masyarakat sebagai pemberi solusi dan mengayomi, alih-alih eksklusif dan berjarak. Selain itu, teknik pengajaran juga terbilang unik.

Adanya sistem halaqah serta hafalan atas teks-teks dasar keilmuan agama, merupakan beberapa contoh. Zamakhsari Dhofier merangkum adanya lima unsur dasar dalam setiap pesantren, yakni asrama, masjid, para santri, pengajaran kitab-kitab kuning, serta figur sentral kiai. Ketokohan kiai itulah yang membuat sebuah pesantren menjadi ikon kota tempatnya berada.

(Editor: Erdy Nasrul).

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement