Kamis 28 Feb 2019 15:02 WIB

Kapitan Pattimura, Pahlawan Muslim dari Maluku

Sejarawan Suryanegara menyebut, Pattimura adalah seorang Muslim.

(ilustrasi) gambar Kapitan Pattimura di uang kertas pecahan Rp 1.000
Foto: tangkapan layar google
(ilustrasi) gambar Kapitan Pattimura di uang kertas pecahan Rp 1.000

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Masyarakat Maluku tidak berpangku tangan terhadap penindasan di era kolonialisme. Salah seorang pejuang dari daerah tersebut adalah Kapitan (Kapten) Pattimura.

Sejak 1973, namanya diakui negara sebagai pahlawan nasional. Gambar wajahnya menghiasi uang kertas pecahan Rp 1.000. Namanya bahkan identik dengan perjuangan anti-penjajahan di Maluku.

Baca Juga

Dalam historiografi Indonesia modern, sosok ini disebutkan punya nama asli Thomas Matulesy. Lihat, misalnya, buku Sejarah Nasional Indonesia (Jilid Keempat).

Lebih lanjut, buku yang terbit pada era Orde Baru itu tidak menjelaskan apa agama Pattimura. Demikian menurut Ahmad Choirul Rofiq dalam Menelaah Historiografi Nasional Indonesia (2016). Maka wajar bila ada anggapan nama ‘Thomas’ khas budaya Eropa atau terpengaruh Kristen, sehingga yang bersangkutan beragama Nasrani.

Bagaimanapun, sejarawan Ahmad Mansur Suryanegara mengajukan argumentasi. Melalui bukunya, Api Sejarah 1 (edisi revisi tahun 2014), dia menjelaskan latar belakang tokoh ini.

Kapitan Pattimura bernama asli Ahmad Lussy alias Mat Lussy. Sosok yang lahir di Hualoy, Seram Selatan, itu beragama Islam.

Sejak zaman dahulu sampai sekarang, menurut Suryanegara, siapapun yang menyandang nama ‘Pattimura’ di Ambon dan sekitarnya merupakan Muslim. “Oleh karena itu, salahlah jika dalam penulisan sejarah, Kapten Pattimura disebut seorang penganut Kristen,” tulis Suryanegara (2014: 202).

Pada 1789, di Maluku terjadi pergantian pemerintahan dari Belanda ke tangan Inggris. Saat itu, Pattimura telah berusia remaja. Beberapa sumber menyebut, dia sempat bergabung dengan dinas kemiliteran Inggris.

Konvensi London 1814 menyebabkan beberapa daerah di Nusantara kembali jatuh dari Inggris ke tangan Belanda. Termasuk di dalamnya adalah Maluku. Sementara itu, VOC telah dinyatakan bangkrut sejak 31 Desember 1799 sehingga mengubah tata kolonial di wilayah jajahannya.

Belanda kian berlaku kejam terhadap penduduk Pribumi Maluku. Masyarakat setempat dijadikannya tenaga kerja paksa antara lain untuk membuat garam, membuka kebun-kebun pala, dan kemiliteran. Sejak bubarnya VOC atau awal abad ke-19, rakyat Maluku dipaksa untuk menerima uang kertas keluaran Belanda sebagai alat transaksi.

Penguasa kolonial akan menghukum siapapun yang ingin memakai kembali uang perak. Padahal, rakyat sendiri tidak punya akses yang memadai untuk memeroleh uang kertas yang dimaksud. Demikian seperti diungkap Des Alwi dalam bukunya, Sejarah Maluku (2005).

Hal ini memicu amarah rakyat. Pada 14 Mei 1817, Pattimura mulai menyerang pos-pos pertahanan Belanda di Maluku. Dia sebelumnya mendapat dukungan dari tokoh-tokoh lainnya serta rakyat Maluku. Pada Agustus 1817, dia bahkan berhasil menguasai Benteng Duurstede dan membunuh beberapa pejabat penting Belanda di sana.

Dua bulan kemudian, Belanda mengerahkan tidak kurang dari 1.500 kapal perang serta lebih banyak pasukan untuk menggempur Pattimura. Akhirnya, tokoh perlawanan ini tertangkap. Pada 16 Desember 1817, dia dijatuhi hukuman mati di Ambon. Adapun beberapa rekan seperjuangannya dibuang ke Pulau Jawa.

sumber : Islam Digest Republika
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement