Selasa 10 Dec 2013 12:24 WIB

Pilar Muruah

Berbagi (ilustrasi)
Foto: antara
Berbagi (ilustrasi)

REPUBLIKA.CO.ID, Oleh: Ustaz Muhammad Arifin Ilham

Karena akhlak mulia berdimensi banyak, maka diperlukan simpul dan pengikat, agar tidak terlepas dan tercecer. Nah, simpul pengikat itu tidak lain adalah muru’ah.

Dalam Mausu’ah Fiqh al-Qulub, dijelaskan bahwa muruah adalah mengerjakan segenap akhlak baik dan menjauhi seluruh akhlak buruk; menerapkan semua hal yang akan menghiasi dan memperindah kepribadian, serta meninggalkan semua yang akan mengotori dan menodainya.

 

Definisi ini mengisyaratkan semua akhlak mulia bisa tertampung di dalamnya, sehingga cakupan muru’ah pun menjadi sangat luas. Karena luasnya cakupan, sebagian ulama kemudian meneliti akhlak mana saja yang menjadi pilar tegaknya muru’ah ini.

Ar-Rabi’ bin Sulaiman berkata, “Saya mendengar Imam asy-Syafi’i berkata, “Muru’ah itu mempunyai empat pilar, yaitu berakhlak baik, dermawan, rendah hati dan tekun beribadah.” (Sunan al-Baihaqi, no. 21333).

Selalu berakhlak baik ibarat induk yang menarik anak semangnya. Tanpa berakhlak baik sesuai perintah Allah dan Rasul-Nya, seseorang tidak pantas menyandang sifat muru’ah.

‘Urwah bin az-Zubair (ulama’ Tabi’in) menyebutkan, “Bila engkau melihat seseorang melakukan kebaikan, ketahuilah bahwa kebaikan itu memiliki anak semang pada diri orang tersebut… " (Riwayat Abu Nu’aim dalam al-Hilyah).

Pilar kedua, yaitu kedermawanan. Pilar ini merupakan refleksi dari itsar (mengutamakan orang lain), futuwwah (murah hati), tidak cinta dunia, saling menolong dalam kebajikan dan takwa, mendatangkan kegembiraan kepada sesama, dan sebagainya.

Menurut al-Qur’an, manusia sebenarnya cenderung enggan melepaskan haknya kepada orang lain, alias pelit. Dan maunya hanya diberi. “Dan manusia itu menurut tabiatnya adalah kikir.” (QS. An-Nisa': 128). Maka, kedermawanan adalah tindakan melawan nafsu-nafsu serakah, egois, cinta dunia, dan sebagainya.

Pilar ketiga, rendah hati (tawadhu’). Kita bisa memahami betapa hebatnya akhlak ini dengan merenungkan kisah Adam, Malaikat, dan iblis sebagaimana disitir al-Qur’an.

Sungguh, kesombonganlah yang membuat Iblis menolak bersujud kepada Adam. Ia merasa lebih baik dan lebih mulia, sehingga tidak mau menghormati Adam.

Allah SWT pun murka kepada iblis, melaknatnya lalu mengusirnya dari surga. Sebaliknya, dengan rendah hati para malaikat serta-merta bersujud.

Dengan kata lain, ketawadhu’an akan menyemai amal-amal shalih, sebagaimana kesombongan pasti membuahkan aneka dosa dan maksiat.

Di balik ketawadhu’an, ketika sikapnya ini benar-benar tulus dan bukan kamuflase, sebenarnya sedang bersemayam banyak akhlak yang lain, seperti muhasabah (introspeksi diri), gemar berkompetisi dalam kebaikan, tidak tertarik mencari-cari aib orang lain, menghormati yang lebih tua dan menyayangi yang lebih muda.

Pilar terakhir adalah tekun beribadah. Bagian ini menyiratkan dua hal sekaligus. Pertama, tidak ada keshalihan hakiki yang tidak disertai dengan kedekatan kepada Allah SWT, apalagi jika tanpa iman.

Meski seseorang telah menyempurnakan tiga pilar muru’ah yang lain, jika dia malas beribadah, maka kebaikan-kebaikannya rawan tercemari oleh motif-motif yang salah, sehingga sia-sia. Dengan ibadahlah maka hati seseorang akan lebih terjaga.

Kedua, ibadah akan mewariskan keteguhan hati dan kesabaran, sehingga mendatangkan istiqamah. Dengan istiqamah, maka kehormatan seseorang terjaga. Dan di situlah puncak muru’ah. Wallahu a’lam.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement