Rabu 23 Jan 2019 05:05 WIB

Saling Memaafkan

Manusia tidak pernah lepas dari sebuah kesalahan

Saling memaafkan saat lebaran (ilustrasi).
Foto: Republika/Amin madani
Saling memaafkan saat lebaran (ilustrasi).

REPUBLIKA.CO.ID, Oleh: Muhammad Iqbal

Suatu ketika sahabat Bilal bin Rabah RA terlibat per tikaian dengan Abu Dzar RA. Abu Dzar melontarkan perkataan yang sangat menyakitkan hati Bilal. “Wahai anak wanita hitam.” Bilal lalu mengadukan kejadian tersebut kepada Rasulullah SAW. Dan, Rasulullah pun memanggil Abu Dzar guna mengklarifikasi kejadian tersebut. Lalu, Rasul menasihatinya dan Abu Dzar merasa dia telah berbuat salah dan zalim kepada sahabat seperjuangannya. 

Saat itu juga, Abu Dzar men cari keberadaan Bilal. Se sampainya di hadapan Bilal, Abu Dzar meletakkan pipinya di atas padang pasir di bawah te riknya matahari sambil ber kata, “Wahai sahabatku, aku rela engkau menginjak pipiku ini demi memperoleh maaf darimu atas perbuatan zalim yang telah aku perbuat.” Na mun, ketika itu Bilal merogoh tangan Abu Dzar. “Aku telah memaafkanmu wahai sahabatku.” Sungguh indah akhlak yang diperlihatkan kedua sahabat Rasulullah SAW. 

Dalam menjalani hidup so sial bermasyarakat, manusia tidak pernah lepas dari sebuah kesalahan, entah itu terhadap te tangga, kawan, ataupun rekan kerja. Kesalahan adalah sua tu hal yang wajar ketika kita berinteraksi dengan sesa ma. Namun, ketika kita bisa menyikapi kesalahan tersebut dengan suatu proses saling ma af dan memaafkan, itulah yang luar biasa. “Setiap anak Adam tidak luput dari kesalah an, dan sebaik-baik orang yang berbuat kesalahan adalah me reka yang bertaubat.” (HR Tirmidzi). 

“Jadilah pemaaf dan suruhlah orang mengerjakan yang makruf serta berpaling lah dari orang-orang bodoh.” (QS al-A’raf: 199). Dalam ayat tersebut Allah SWT menga barkan kepada umat Islam ba gaimana seharusnya kita menjalani kehidupan. 

Tiga konsep yang Allah berikan kepada kita. Pertama, jadilah pemaaf. Ketika proses saling maaf dan memaafkan sudah menjadi habit (kebia sa an) dalam masyarakat, sungguh masyarakat tersebut akan menjadi suatu masyarakat yang harmonis, mawaddah wa rahmah (cinta dan kasih sa yang) menaungi mereka. 

Kedua, mengimbau kepada kebenaran. Di kala rasa cinta dan kasih menaungi kehidupan me reka, di sana akan terjalin interaksi yang harmonis dan mereka akan mengoreksi sahabatnya yang berbuat salah. 

Ketiga, berpaling dari orang-orang bodoh. Ketika sudah menjadi masyarakat harmonis dan religius, sungguh mereka akan berpaling dari perilaku orang-orang yang bodoh, perilaku yang kering akan hal bermanfaat. Dan, seperti inilah se orang Muslim, “meninggal kan suatu hal yang tak berguna adalah kebaikan bagi seorang Muslim.” 

Pantaskah seorang dewan legislatif adu jotos karena hal sepele, padahal mereka adalah wakil-wakil rakyat? Pantaskah suatu ke lom pok agama meng hujat ke lompok lainnya demi kepentingan segelintir orang, padahal mereka berdiri di atas agama yang sama. 

Masyarakat yang sarat akan nilai-nilai cinta dan kasih bermula dari suatu proses yang sangat agung, yaitu saling maaf dan memaafkan. “Orang-orang penyayang akan disayang oleh Allah yang Ma ha rahman. Sayangilah penduduk bumi, maka kalian akan di sayangi oleh Allah.” (HR Ahmad). Wallahu a’lam.¦ 

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
Advertisement
Advertisement